Tentang Kebahagiaan Kita

Tentang Kebahagiaan Kita



Kata Pengantar

Ketahuilah, bahwa manusia tidak
diciptakan secara main-main atau sembarangan. Ia diciptakan dengan
sebaik-baiknya dan demi suatu tujuan agung.
Meskipun bukan merupakan bagian
Yang Kekal, ia hidup selamanya; meski jasadnya rapuh dan
membumi, ruhnya mulia dan bersifat ketuhanan. Ketika, dalam tempaan hidup
zuhud, ia tersucikan dari nafsu jasmaniah, ia mencapai
tingkat tertinggi; dan sebaliknya, dari menjadi budak
nafsu angkara, ia memiliki
sifat-sifat malaikat. Dengan mencapai tingkat ini, ia temukan surganya di dalam
perenungan tentang Keindahan Abadi, dan tak lagi pada kenikmatan-kenikmatan
badani. Kimia ruhaniah yang menghasilkan perubahan ini dalam dirinya, seperti
kimia yang mengubah logam rendah menjadi emas, tak bisa dengan mudah ditemukan.
Untuk menjelaskan kimia dan metode operasinya itulah maka pengarang menyusun
karya yang diberi judul Kimia Kebahagiaan
ini.
Khazanah-khazanah Tuhan yang
mengandung kimia ini, ada pada hati para nabi.
Siapa saja yang mencarinya di tempat lain akan kecewa dan bangkrut
di hari kemudian, yakni ketika ia mendengar firman: “… Telah Kami
angkat tirai itu darimu, dan pandanganmu pada hari ini sangatlah tajam.” (QS 50:22)
Allah telah mengutus ke dunia
ini seratus duapuluh empat nabi untuk mengajar manusia tentang resep kimia ini,
dan bagaimana cara mensucikan hati mereka dari sifat-sifat rendah melalui
tempaan zuhud. Kimia ini dapat secara ringkas diuraikan sebagai berpaling dari
dunia untuk menghadap kepada Allah. Bagiannya ada empat. Pertama, pengetahuan
tentang diri. Kedua, pengetahuan tentang Allah. Ketiga, pengetahuan tentang
dunia ini sebagaimana adanya. Keempat, pengetahuan tentang akhirat sebagaimana
adanya.
Marilah kita mulai memaparkan keempat bagian ini secara berurutan.



BAB 1:
Pengetahuan Tentang Diri

Pengetahuan tentang diri adalah
kunci pengetahuan tentang Tuhan, sesuai dengan Hadits: “Dia yang
mentetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhan,” dan sebagaimana yang
tertulis di dalam al-Qur’an: “Akan Kami tunjukkan ayat-ayat kami di dunia
ini dan di dalam diri mereka, agar kebenaran tampak bagi mereka.” Nah,
tidak ada yang lebih dekat kepada anda
kecuali diri anda sendiri. Jika anda tidak mengetahui diri anda sendiri,
bagaimana anda bisa mengetahui segala sesuatu yang lain. Jika anda
berkata” “Saya mengetahui diri saya”- yang berarti bentuk luar
anda; badan, muka dan anggota-anggota badan lainnya – pengetahuan seperti itu
tidak akan pernah bisa menjadi kunci
pengetahuan tentang Tuhan. Demikian pula halnya jika pengetahuan anda hanyalah
sekedar bahwa kalau lapar anda makan,
dan kalau marah anda menyerang seseorang; akankah anda dapatkan
kemajuan-kemajuan lebih lanjut di dalam lintasan ini, mengingat bahwa dalam hal
ini hewanlah kawan anda?
Pengetahuan tentang
diri yang sebenarnya, ada dalam pengetahuan tentang hal-hal berikut ini:
Siapakah anda, dan dari mana anda datang? Kemana
anda pergi, apa tujuan
anda datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di manakah kebahagiaan anda dan kesedihan anda yang sebenarnya
berada? Sebagian sifat anda adalah sifat-sifat
binatang, sebagian yan glain adalah sifat-sifat setan dan selebihnya sifat-sifat malaikat. Mestai
anda temukan, mana di antara sifat-sifat ini yan gaksidental dan mana yan
gesensial (pokok). Sebelum anda ketahui hal ini, tak akan bisa anda temukan letak kebahagiaan anda yang sebenarnya.
Pekerjaan hewan hanyalah makan,
tidur dan berkelahi. Oleh karena itu, jika anda seekor hewan, sibukkan diri
anda dengan pekerjaan-pekerjaan ini. Setan selalu sibuk
mengobarkan kejahatan, akal bulus dan kebohongan. Jika anda termasuk dalam kelompok mereka,
kerjakan pekerjaan mereka. Malaikat-malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan
dan sama sekali bebas dari kualitas-kualitas hewan.
Jika anda punya
sifat-sifat malaikat, maka berjuanglah untuk mencapai
sifat-sifat asal anda agar bisa anda kenali dan renungi Dia Yang Maha Tinggi,
serta merdeka dari perbudakan nafsu dan amarah. Juga mesti anda temukan
sebab-sebab anda diciptakan dengan kedua insting hewan ini: mestikah keduanya
menundukkan dan memerangkap anda, ataukah anda yang mesti menundukkan mereka
dan – dalam kemajuan anda – menjadikan salah satu di antaranya sebagai kuda
tunggangan serta yang lainnya sebagai senjata.
Langkah pertama menuju pengetahuan tentang diri adalah
menyadari bahwa anda terdiri
dari bentuk luar yang disebut sebagai jasad, dan wujud dalam yang disebut
sebagai hati atau ruh. Yang saya maksudkan dengan “hati” bukanlah
sepotong daging yang terletak di bagian kiri badan, tetapi sesuatu yang
menggunakan fakultas-fakultas lainnya sebagai alat dan pelayannya. Pada hakikatnya dia tidak termasuk dalam dunia kasat-mata, melainkan dunia



maya; dia datang ke dunia ini
sebagai pelancong yan gmengunjungi suatu negeri asing untuk keperluan
perdagangan dan yang akhirnya akan kembali ke tanah asalnya. Pengetahuan
tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang merupakan kunci pengetahuan
tentang Tuhan.
Beberapa gagasan tentang
hakikat hati atau ruh bisa diperoleh seseorang yang mengatupkan matanya dan
melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain individualitasnya. Dengan
demikian, ia juga akan memperoleh penglihatan
sekilas akan sifat tak berujung dari individualitas itu. Meskipun demikian,
pemeriksaan yang terlalu dekat kepada esensi ruh dilarang oleh syariat. Di dalam al-Qur’an
tertulis: “Mereka bertanya
kepadamu tentang ruh. Katakan: Ruh itu adalah urusan
Tuhanku.” (QS 17:85). Yang bisa diketahui adalah bahwa ia merupakan suatu
esensi tak terpisahkan yang termasuk dalam dunia titah, dan bahwa ia tidak
berasal dari sesuatu yang abadi, melainkan diciptakan. Pengetahuan filosofis yang tepat tentang ruh bukanlah
merupakan pendahuluan yang perlu untuk perjalanan di atas lintasan
agama, melainkan muncul lebih sebagai akibat disiplin-diri dan kesabaran
berada di atas lintasan itu, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an: “Siapa
yang berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan padanya
jalan yan glurus.” (QS 29:69).
Untuk melanjutkan peperangan
ruhaniah demi mendapatkan pengetahuan tentang diri dan tentang Tuhan, jasad
bisa digambarkan sebagai suatu kerajaan, jiwa (ruh) sebagai rajanya serta
berbagai indera dan fakultas lain sebagai tentaranya. Nalar bisa disebut
sebagai wazir atau perdana menteri, nafsu sebagai pemungut pajak dan amarah
sebagai petugas polisi. Dengan berpura-pura mengumpulkan pajak, nafsu
terus-menerus cenderung untuk merampas demi kepentingannya sendiri, sementara amarah
selalu cenderung kepada
kekasaran dan kekerasan. Pemungut pajak dan petugas polisi keduanya harus
selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tidak dibunuh atau diungguli,
mengingat mereka memiliki fungsi-fungsi tersendiri yang harus dipenuhinya. Tapi jika nafsu dan amarah menguasai
nalar, maka – tak bisa tidak – keruntuhan jiwa pasti terjadi. Jiwa yang
membiarkan fakultas-fakultas yang lebih rendah untuk menguasai yang lebih
tinggi ibarat seseorang yang menyerahkan seorang bidadari kepada kekuasaan
seekor anjing, atau seorang muslim kepada tirani seorang kafir.
Penanaman kualitas-kualitas
setan, hewan ataupun malaikat menghasilkan watak-watak yang sesuai dengan
kualitas tersebut yang di Hari Perhitungan akan diwujudkan dalam bentuk
kasat-mata, seperti nafsu sebagai babi,
ganas sebagai anjing dan serigala, serta suci sebagai
malaikat. Tujuan disiplin
moral adalah untuk memurnikan hati dari karat-nafsu dan amarah, sehingga
bagaikan cermin yan gjernih, ia memantulkan cahaya Tuhan.
Barangkali di antara pembaca
ada yang akan berkeberatan, “Tapi jika manusia telah diciptakan dengan
kualitas-kualitas hewan, setan
dan malaikat, bagaimana bisa
kita ketahui bahwa kualitas malaikat merupakan esensinya yang sebenarnya,
sementara kualitas hewan dan setan hanyalah aksidental dan peralihan
belaka?” Atas pertanyaan ini, saya jawab bahwa esensi tiap makhluk adalah
sesuatu yang tertinggi di dalam dirinya dan khas baginya.



Kuda dan keledai kedua-duanya
adalah hewan pengangkut beban, tetapi kuda
lebih unggul dari keledai karena ia dimanfaatkan untuk perang. Jika gagal dalam hal ini, ia pun terpuruk
ke tingkatan binatang
pengangkut beban. Fakultas
tertinggi di dalamnya adalah nalar yang menjadikannya bisa merenung tentang
Tuhan. Jika fakultas ini dominan dalam dirinya, maka ketika mati dia tinggalkan
di belakangnya segenap kecenderungan kepada nafsu dan amarah, sehingga
memungkinkannya berkawan dengan para malaikat. Dalam hal pemilikan
kualitas-kualitas hewan, manusia kalah dibanding banyak hewan, tetapi
nalar membuatnya lebih unggul dari mereka,
sebagaimana tertulis di dalam al-Qur’an: “Telah Kami tundukkan segala
sesuatu di atas bumi untuk manusia” (QS 45:13). Tetapi
jika kecenderungan-
kecenderungannya yang lebih rendah yang menang, maka setelah kematiannya, dia
akan selamanya menghadap ke bumi dan mendambakan kesenangan-kesenangan duniawi.
Selanjutnya, jiwa rasional di
dalam manusia penuh dengan keajaiban- keajaiban pengetahuan maupun kekuatan.
Dengan itu semua ia menguasai seni dan sains, ia bisa menempuh jarak dari bumi
ke langit bolak-balik secepat kilat, dan mampu mengatur lelangit dan mengukur
jarak antar bintang. Dengan itu juga ia bisa menangkap ikan dari lautan dan
burung- burung dari udara, serta bisa
menundukkan binatang-binatang seperti gajah,
unta dan kuda.
Pancainderanya bagaikan
lima pintu yang terbuka menghadap
ke dunia luar. Tetapi ajaib dari semuanya
ini, hatinya memiliki
jendela yang terbuka
ke arah dunia ruh yang tak
kasat-mata. Dalam keadaan tertidur, ketika saluran inderanya tertutup, jendela
ini terbuka dan ia menerima kesan-kesan dari dunia tak-kasat-mata;
kadang-kadang bisa ia dapatkan isyarat tentang
masa depan. Hatinya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala
sesuatu yang tergambar di dalam Lauhul-mahfuzh. Tapi, bahkan dalam keadaan tidur, pikiran-pikiran akan segala
sesuatu yang bersifat keduniaan akan memburamkan cermin ini, sehingga
kesan-kesan yang diterimanya tidak jelas. Meskipun demikian setelah mati
pikiran-pikiran seperti itu sirna dan segala sesuatu tampak dalam
hakikat-telanjangnya. Dan kata-kata di dalam al-Qur’an pun menyatakan:
“Telah Kami angkat tirai darimu dan hari ini penglihatanmu amat tajam.”
Membuka sebuah jendela di dalam
hati yang mengarah kepada yan gtak- kasat-mata
ini juga terjadi di dalam keadaan-keadaan yang mendekati ilham kenabian, yakni
ketika intuisi timbul di dalam pikiran – tak terbawa lewat saluran-indera apa
pun. Makin seseorang memurnikan dirinya dari syahwat- syahwat badani dan
memusatkan pikirannya pada Tuhan, akan makin pekalah ia terhadap
intuisi-intuisi seperti itu. Orang-orang yang tidak sadar akan hal ini tidak
punya hak untuk menyangkal hakikatnya.
Intuisi-intuisi seperti itu
tidak pula terbatas hanya pada tingkatan kenabian saja. Sebagaimana juga besi, dengan memolesnya secukupnya, ia akan bisa
dijelmakan menjadi sebuah cermin. Jadi, dengan disiplin yang memadai, pikiran
siapa pun bisa dijadikan mampu menerima kesan-kesan seperti itu. Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh Nabi ketika beliau berkata:
“Setiap



anak lahir dengan suatu
fitrah (untuk menjadi
muslim); orang tuanyalah yang kemudian membuatnya menjadi
seorang Yahudi, Nasrani
atau Majusi.” Setiap manusia, di kedalaman
kesadarannya, mendengar pertanyaan “Bukankah Aku ini tuhanmu?” dan
menjawab “Ya”. Tetapi ada hati yang menyerupai cermin yang telah
sedemikian dikotori oleh karat dan kotoran sehingga tidak lagi memberikan pantulan-pantulan yang jernih.
Sementara hati para
nabi dan wali, meskipun
mereka juga mempunyai nafsu seperti kita, sangat peka terhadap segenap kesan-kesan ilahiah.
Bukan hanya dengan nalar
pengetahuan capaian dan intuitif saja jiwa manusia bisa menempati tingkatan
palin gutama di antara makhluk-makhluk lain, tetapi juga dengan nalar kekuatan.
Sebagaimana malaikat-malaikat berkuasa atas kekuatan-kekuatan alam, demikian
jugalah jiwa mengatur anggota-anggota badan. Jiwa yang telah mencapai suatu
tingkatan kekuatan khusus,
tidak saja mengatur jasadnya sendiri, melainkan juga jasad orang lain. Jika mereka ingin agar seseorang yang sakit bisa sembuh, maka si sakit pun akan sembuh, atau menginginkan seseorang yang sehat agar jatuh sakit, maka sakitlah orang itu, atau jika
ia inginkan kehadiran seseorang, maka datanglah
orang itu kepadanya. Sesuai dengan baik-buruknya akibat yang ditimbulkan oleh
jiwa yang sangat kuat ini, hal tersebut diistilahkan sebagai mukjizat dan sihir. Jiwa ini berbeda
dari orang biasa dalam tiga hal:
1.    Yang hanya dilihat
oleh orang-orang lain sebagai mimpi, mereka lihat pada saat-saat jaga.
2.    Sementara kehendak
orang lain hanya mempengaruhi jasad mereka saja, jiwa ini, dengan kekuatan
kehendaknya, bisa pula menggerakan jasad-jasad di luar mereka.
3.    Pengetahuan yang oleh
orang lain diperoleh dengan belajar secara sungguh-sungguh, sampai kepada
mereka lewat intuisi.
Tentunya bukan hanya tiga tanda
ini sajalah yang membedakan mereka dari
orang-orang biasa, tetapi hanya ketiganya itulah yang bisa kita ketahui. Sebagaimana halnya, tidak ada sesuatu pun
yang mengetahui sifat-sifat Tuhan yang sebenarnya, kecuali Tuhan sendiri, maka
tak ada seorang pun yang mengetahui sifat sebenarnya seorang Nabi, kecuali
seorang Nabi. Hal ini tak perlu
kita herankan, sama halnya dengan
di dalam peristiwa sehari-hari kita melihat kemustahilan untuk menerangkan
keindahan puisi pada seseorang yan
gtelinganya kebal terhadap irama, atau menjelaskan keindahan warna kepada
seseorang yang sama sekali buta. Di samping ketidakmampuan, ada juga
hambatan-hambatan lain di dalam pencapaian kebenaran ruhaniah. Salah satu di
antaranya adalah pengetahuan yang dicapai secara eksternal. Sebagai misal, hati
bisa digambarkan sebagai sumur dan pancaindera sebagai lima aliran yang dengan
terus-menerus membawa air ke dalamnya. Agar bisa menemukan kandungan hati yang
sebenarnya, maka aliran-aliran ini mesti dihentikan untuk sesaat dengan
cara apa pun dan sampah yang dibawa bersamanya mesti dibersihkan dari sumur
itu. Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran ruhani yang
murni, pada saat itu mesti kita buang pengetahuan yang telah dicapai
dengan proses-proses eksternal dan yang sering
sekali mengeras menjadi
prasangka dogmatis.



Kesalahan dari jenis lain,
berlawanan dengan itu, dibuat oleh orang-orang yang dangkal yang – dengan
menggemakan beberapa ungkapan yang mereka tangkap dari guru-guru Sufi – ke sana
ke mari menyebarkan kutukan terhadap semua pengetahuan. Ia bagaikan seseorang
yang tidak capak di bidang kimia menyebarkan ucapan: “Kimia lebih baik
dari emas,” dan menolak emas ketika ditawarkan kepadanya. Kimia memang
lebih baik dari emas, tapi para ahli kimia
sejati amatlah langka,
demikian pula Sufi-sufi sejati. Seseorang yang hanya memiliki pengetahuan yang dangkal tentang
tasawuf, tidak lebih unggul
daripada seorang yang terpelajar. Demikian
pula seseorang yang baru
mencoba beberapa percobaan kimia, tidak punya alasan untuk merendahkan seorang kaya.
Setiap orang yang mengkaji
persoalan ini akan melihat bahwa kebahagiaan memang terkaitkan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tiap fakultas dalam diri kita senang dengan
segala sesuatu yang untuknya ia diciptakan. Syahwat senang memuasi nafsu, kemarahan senang membalas dendam,
mata senang melihat obyek-obyek yang indah, dan telinga senang mendengar suara-suara yang selaras. Fungsi
tertinggi jiwa manusia adalah pencerapan kebenaran, karena itu dalam mencerap
kebenaran tersebut ia mendapatkan kesenangan tersendiri. Bahkan soal-soal
remeh, seperti mempelajari catur, juga mengandung kebaikan. Dan makin tinggi
materi subyek pengetahuan didapatnya, makin besarlah kesenangannya. Seseorang
akan senang jika dipercayai untuk jabatan Perdana Menteri, tetapi betapa lebih
senangnya ia jika sang raja sedemikian akrab
dengannya sehingga membukakan soal-soal rahasia baginya.
Seorang ahli astronomi yang
dengan pengetahuannya bisa memetakan bintang-bintang dan menguraikan lintasan-lintasannya, mereguk
lebih banyak kenikmatan dari
pengetahuannya dibanding seorang pemain catur. Setelah mengetahui bahwa tak ada sesuatu yang lebih tinggi
dari Allah, maka betapa
akan besarnya kebahagiaan yang memancar dari pengetahuan sejati
tentang- Nya itu!
Orang yang telah kehilangan
keinginan akan pengetahuan seperti ini adalah bagaikan seorang yang telah kehilangan seleranya terhadap makanan sehat, atau yang untuk hidupnya lebih
menyukai makan lempung daripada roti. Semua nafsu badani musnah pada saat kematian
bersamaan dengan kematian organ-organ yang biasa diperalat nafsu-nafsu
tersebut. Tetapi jiwa tidak. Ia simpan segala pengetahuan tentang Tuhan yang
dimilikinya, malah menambahnya.
Suatu bagian penting dari
pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari kajian
dan renungan atas jasad kita sendiri yang menampakkan pada kita kebijaksanaan,
kekuasaan, serta cinta Sang Pencipta. Dengan kekuasan- Nya, Ia bangun kerangka
tubuh manusia yang luar biasa dari hanya suatu tetesan belaka. Kebijakan-Nya
terungkapkan di dalam kerumitan jasad kita serta kemampuan bagian-bagiannya
untuk saling menyesuaikan, Ia perlihatkan cinta-Nya dengan memberikan lebih
dari sekadar organ-organ yang memang mutlak perlu bagi eksistensi – seperti
hati, jantung dan otak – tetapi juga yang tidak mutlak
perlu seperti tangan, kaki, lidan dan mata.



Kepada semuanya ini telah Ia
tambahkan sebagai hiasan hitamnya rambut, merahnya bibir dan melengkungnya bulu
mata.
Manusia dengan tepat disebut
sebagi ‘alamushshaghir’ atau jasad-kecil di dalam
dirinya. Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan hanya oleh orang- orang yang
ingin menjadi dokter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin mencapai pengetahuan yang lebih dalam
tentang Tuhan, sebagaimana studi yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa di dalam
sebuah puisi yang agung akan mengungkapkan pada kita lebih banyak tentang
kejeniusan pengarangnya.
Di atas semua itu, pengetahuan tentang
jiwa memainkan peranan
yang lebih penting dalam
membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan ketimbang pengetauhan tentan
gjasad kita dan fungsi-fungsinya. Jasad bisa diperbandingkan dengan seekor kuda
dengan jiwa sebagai penunggangnya.
Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seorang manusia
tidak mengetahui jiwanya sendiri – yang merupakan sesuatu yang paling
dekat dengannya – maka apa arti klaimnya bahwa ia telah mengetahui hal-hal
lain. Kalau demikian, ia bagaikan seorang pengemis yang tidak memiliki
persediaan makanan, lalu mengklaim bisa memberi makan seluruh penduduk kota.
Dalam bab ini kita telah berusaha
sampai tingkat tertentu
untuk memaparkan kebesaran
jiwa manusia. Seseorang yang mengabaikannya dan menodai kapasitasnya dengan karat atau memerosotkannya, pasti menjadi pihak yang
kalah di dunia ini dan di dunia mendatang. Kebesaran manusia yang sebenarnya
terletak pada kapasitasnya untuk terus-menerus meraih kemajuan. Jika tidak, di
dalam ruang temporal ini, ia akan menjadi makhluk yang paling lemah di antara
segalanya – takluk oleh kelaparan, kehausan, panas, dingin dan penderitaan.
Sesuatu yang paling ia senangi sering merupakan sesuatu yang paling berbahaya
baginya. Dan sesuatu yang menguntungkannya tidak bisa ia peroleh kecuali dengan
kesusahan dan kesulitan. Mengenai inteleknya, sekadar suatu kekacauan kecil saja di dalam
otaknya sudah cukup untuk memusnahkan atau membuatnya gila. Sedangkan mengenai
kekuatannya, sekadar sengatan
tawon saja sudah bisa
mengganggu rasa santai dan tidurnya. Mengenai tabiatnya, dia sudah akan gelisah
hanya dengan kehilangan satu rupiah saja. Dan tentang kecantikannya, ia hanya
sedikit lebih cantik daripada benda-benda memuakkan yang diselubungi dengan
kulit halus. Jika tidak sering dicuci, ia akan menjadi sangat menjijikkan dan memalukan.
Sebenarnyalah manusia
di dunia ini sungguh amat lemah dan hina. Hanya di
dalam kehidupan yang akan datang sajalah ia akan mempunyai nilai, jika dengan
sarana “kimia kebahagiaan” tersebut ia meningkat
dari tingkat hewan ke tingkat malaikat. Jika tidak,
maka keadaannya akan menjadi lebih buruk dari
orang-orang biadab yan gpasti musnah dan menjadi
debu. Perlu baginya untuk – bersamaan dengan
timbulnya kesadaran akan keunggulannya sebagai makhluk terbaik – belajar mengetahui
juga ketidakberdayaannya, karena hal ini juga merupakan salah
satu kunci kepada
pengetahuan tentang Tuhan.



BAB
2: Pengetahuan Tentang Tuhan

Sebuah hadits Nabi (SAW) yang
terkenal berbunyi “Dia yang mengenal dirinya, mengenal Allah.”
Artinya, dengan merenungkan wujud dan sifat- sifatnya, manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Tuhan. Tetapi karena banyak orang yang
merenungkan dirinya tidak juga menemui Tuhan, berarti bahwa tentulah ada cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut.
Kenyataannya, ada dua metode untuk bisa sampai pada pengetahuan ini. Salah satu
di antaranya sedemikian musykil sehingga tidak bisa dicerna dengan
kecerdasan biasa dan karenanya lebih baik tidak dijelaskan.
Metode yang lain adalah
sebagai berikut. Jika
seorang manusia merenungkan dirinya, ia akan tahu bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis
di dalam al-Qur’an: “Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia
bukan apa- apa?” Selanjutnya ia ketahui bahwa ia terbuat dari satu tetes
air yang tidak mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan sebagainya. Dari sini jelaslah bahwa, setinggi apa pun tingkat
kesempurnaannya, ia tidak menciptakan dirinya dan tidak pula ia mampu mencipta
seutas rambut sekalipun.
Betapa sangat tak berdayanya ia pada waktu ia baru hanya berupa
setetes air itu! Jadi,
sebagaimana telah kita lihat pada bab pertama (Pengetahuan Tentang Diri –
pen.), dia dapati pada wujudnya sendiri terpantulkan sebagai, katakanlah, suatu
miniatur kekuasaan, kebijakan dan cinta Sang Pencipta. Jika semu orang pandai
dari seluruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka diperpanjang sampai waktu yang
tidak terbatas, tidak akan bisa mereka hasilkan perbaikan apa pun atas bangun
satu bagian saja dari jasad manusia.
Misalnya, pada penyesuaian geligi depan dan samping pada pengunyahan makanan,
serta pada bangun lidah, kelenjar-kelenjar air liur dan kerongkongan untuk
penelanannya, kita dapati
peralatan-peralatan yang tidak bisa dibuat lebih baik lagi.
Demikian pula seseorang yang merenungkan tangan dengan
lima jari-jarinya yang tidak sama panjang empat di antaranya
dengan tiga persendian dan jempol yang hanya mempunyai dua – serta dengan cara
bagaimana ia bisa dipergunakan untuk mencekal, menjinjing atau memukul, secara
terus terang akan
mengakui bahwa tidak
akan mungkin kebijakan manusia
bisa membuatnya lebih
baik lagi dengan
mengubah jumlah dan aturan
jari-jari tersebut, atau dengan jalan lain apa pun.
Jika seorang manusia lebih
lanjut memikirkan bagaimana beragam keinginannya akan makanan, penginapan dan
lain sebagainya, pemenuhannya begitu banyak disodorkan dari gudang penciptaan,
ia pun menjadi sadar bahwa rahmat
Allah adalah sebesar
kekuasaan dan kebijakan- Nya, sebagaimaan Ia sendiri
berkata: “Rahmat-Ku lebih luas dari kutukan- Ku.” Dan menurut hadits
Nabi (SAW), allah lebih lembut penciptaan dirinya sendiri, manusia menjadi tahu
akan kemaujudan Tuhan. Dari kerangka tubuhnya
yang menakjubkan ia mengetahui kekuasaan dan kebijakkan Allah. Dan lewat karunia yang berlimpah
untuk memenuhi berbagai kebutuhannya,



ia mengetahui kecintaan Allah.
Dengan cara ini pengetahuan tentang diri menjadi kunci bagi pengetahuan tentang
Allah.
Bukan saja sifat-sifat manusia
merupakan suatu pantulan sifat-sifat Tuhan, tetapi bentuk kemaujudan jiwa
manusia pun menghasilkan suatu wawasan tentang bentuk kemaujudan Allah. Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa Allah dan jiwa kedua-duanya tidak terbatasi oleh
ruang dan waktu, serta berada di luar
pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas. Demikian pula gagasan-gagasan tentang
bentuk, warna atau ukuran tidak bisa pula dihubungkan dengan keduanya. Orang
mengalami kesulitan untuk membentuk suatu konsepsi tentang hakikat semacam itu
yang hampa kualitas, jumlah, dan sebagainya, padahal kesulitan yang sama
terkaitkan pula dengan konsepsi tentang
perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit, senang atau cinta. Semuanya itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak
bisa dimengerti oleh indera, sementara kualitas, jumlah dan lain
sebagainya adalah konsep-konsep indera. Sebagaimana telinga tidak bisa
mengenali warna, tidak pula mata bisa
mengenali suara; dalam ketidakmampuan kita membayangkan hakikat-hakikat puncak,
yaitu Allah dan ruh, kita dapati diri kita berada di dalam suatu wilayah di
mana konsep-konsep indera tidak bisa ambil bagian. Meskipun demikian, sebagaimana
bisa kita lihat, Allah adalah pengatur jagat dan Ia – yang berada di luar ruang
dan waktu, kuantitas dan kualitas – mengatur apa-apa yang sedemikian
terkondisikan. Begitu pulalah ruh mengatur jasad dan anggota-anggotanya dalam
keadaan ia sendiri tidak kasat-mata, tidak terbagi-bagi dan tidak tertempatkan di suatu bagian
khusus mana pun. Karena, bagaimana bisa sesuatu yang tidak terbagi-bagi tertempatkan di dalam sesuatu
yang bisa tergagi-bagi. Dari semuanya ini bisa
kita lihat betapa benarnya hadits Nabi (SAW):
“Allah menciptakan manusia
di dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri.”
Dan setelah kita sampai pada
sebagian pengetahuan tentang esensi dari sifat-sifat Allah lewat perenungan
akan esensi dan sifat-sifat ruh, maka akan bisa kita pahami metode kerja,
pengaturan dan pendelegasian kekuasaan Allah
kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan sebagainya, yaitu dengan
jalan mengamati bagaimana masing-masing kita mengatur
kerajaan-kerajaan kecilnya sendiri. Sebagai
contoh sederhana, misalkan
seorang manusia ingin menulis nama Allah. Pertama sekali
keinginan ini terbetik di dalam hati, baru kemudian dibawa ke otak oleh ruh-ruh
vital. Bentuk kata “Allah” tergambar di dalam relung-relung otak, kemudian berjalan sepanjang saluran
syaraf dan menggerakkan jari-jari yang pada gilirannya menggerakkan pena.
Dengan demikian nama “Allah” terguratkan di atas kertas tepat
sebagaimana dibayangkan di dalam otak penulisnya. Demikian pula, jika Allah
menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tampil di dalam dataran ruhaniah yang di
dalam al-Qur’an disebut sebagai “Singgasana” (al-‘arsy). Dari
singgasana itu ia berlalu lewat suatu arus spiritual ke arah suatu dataran yang lebih rendah yang disebut
kursi (al-kursiy), kemudian
bentuknya tampil dalam al-lauh ‘al-mahfuzh yang, dengan
perantaraan kekuatan-kekuatan yang disebut sebagai
“malaikat-malaikat”, mewujud dan tampil di atas bumi dalam bentuk tetanaman, pepohonan dan
hewan-hewan, sebagai pencerminan keinginan dan pikiran Allah, sebagaimana huruf-huruf yang tertulis



mencerminkan keinginan
yang terbetik di dalam hati dan bentuk
yang hadir di dalam otak sang penulis.
Tidak seorang pun bisa memahami seorang
raja kecuali seorang
raja. Karena itu Tuhan
telah menjadikan masing-masing kita sebagai, katakanlah, seorang raja dalam miniatur, atas suatu kerajaan yang merupakan
tiruan dari kerajaan-Nya yang telah
disusutkan secara tidak
terbatas. Di dalam
kerajaan manusia, singgasana Allah dicerminkan oleh ruh, malaikat
(Jibril) oleh hati, kursy oleh otak dan lauhul-mahfuzh oleh ruang-gudang pikiran.
Jiwa yang ia sendiri tak
tertempatkan dan tak terbagi-bagi – mengatur jasad sebagaimana Allah mengatur jagad. Pendeknya, kepada kita
diamanatkan suatu kerajaan kecil, dan kita diwajibkan untuk
tidak ceroboh dalam mengaturnya.
Mengenai pengenalan tentang
bagaimana Allah memelihara, ada banyak tingkatan
pengetahuan. Ahli fisika biasa, seperti seekor semut yang merangkak di atas
selembar kertas dan mengamati huruf-huruf hitam yang tersebar di atasnya, akan
menunjukkan “sebab” hanya kepada pena saja. Seorang astronom,
seperti seekor semut dengan pandangan
agak lebih luas, bisa melihat jari-jari yang
menggerakkan pena. Maksudnya, ia mengetahui bahwa bintang-bintang berada di
bawah kekuasaan malaikat-malaikat. Jadi, sehubungan dengan berbagai tingkat
persepsi orang, perdebatan mesti timbul dalam
melacak sebab dari akibat. Orang-orang yang matanya tidak pernah melihat ke
balik dunia-gejala, adalah seperti orang-orang yang salah menempatkan
hamba-hamba dari tingkatan yang paling rendah ke tingkatan raja. Hukum-hukum
tentang gejala mesti tetap atau, jika tidak, tak akan ada sains dan sebagainya;
tetapi untuk menempatkan hamba-hamba sebagai majikan adalah suatu kesalahan besar.
Selama perbedaan di dalam
fakultas perseptif para pengamat ini masih ada, perdebatan memang mesti perlu
berlanjut. Bagaikan beberapa orang buta yang mendengar bahwa seekor gajah telah
datang ke kotanya, lantas pergi menyelidikinya. Pengetahuan yang bisa mereka
peroleh hanyalah lewat indera perasaan, sehingga ketika seorang memegang kaki
sang binatang, yang satu lagi memegang gadingnya dan yang lain telinganya, dan,
sesuai dengan persepsi mereka masing-masing, mereka menyatakannya sebagai suatu
batangan, suatu tabung yang tebal dan suatu lapisan kapas, masing- masing
mengambil sebagian untuk menyatakan keseluruhannya. Jadi, sang ahli fisika dan
astronomi mengacaukan hukum-hukum yang mereka tangkap dengan Sang Penetap
hukum-hukum. Kesalahan yang sama dilemparkan kepada Ibrahim di dalam
al-Qur’an yang meriwayatkan bahwa ia berturut-turut berpaling kepada
bintang-bintahg, bulan dan matahari sebagai obyek-obyek penyembahan, sampai
kemudian menjadi sadar tentang Dia yang membuat segala sesuatu, Ibrahim pun
berseru: “Saya tidak menyukai segala sesuatu yang terbenam.” (QS 6:76).
Kita memiliki sebuah contoh
yang sudah umum tentang pengacuan kepada sebab-sebab kedua apa-apa yang seharusnya diacu
kepada Sebab Pertama, yaitu dalam persoalan apa yang
disebut sebagai penyakit. Misalnya jika seseorang kehilangan rasa tertariknya
apda urusan duniawi, memiliki rasa benci terhadap kesenangan-kesenangan umum,
dan tampak tenggelam



dalam depresi, dokter akan
berkata: “Ini adalah kasus melankoli yang membutuhkan resep ini dan itu.” Seorang
ahli fisika akan berkata: “Ini
adalah persoalan kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas
dan tidak bisa disembuhkan sampai udara menjadi
lembab kembali.” Sang ahli astrologi akan mengaitkan hal ini dengan
konjungsi atau oposisi
tertentu planet-planet. “Sejauh
jangkauan kebijakan mereka,” kata al-Qur’an. Tidak terbayangkan oleh
mereka bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah seperti demikian: bahwa Yang Maha
Kuasa berkehendak mengurus kesejahteraan orang itu, dan oleh karenanya telah
memerintahkan hamba-hamba-Nya, yakni planet- planet atau unsur-unsur, agar
menciptakan keadaan seperti itu di dalam diri orang tersebut, sehingga ia bisa
berpaling dari dunia ke arah Penciptanya. Pengetahuan tentang kenyataan ini
merupakan suatu mutiara yang berkilauan dari lautan pengetahuan keilhaman, yang
dibandingkan dengannya, semua bentuk
pengetahuan lain menjadi
bagaikan pulau-pulau di tengah laut.
Dokter, ahli fisika dan ahli
astrologi tersebut, tak syak lagi memang benar
dalam cabang pengetahuan-khususnya masing-masing, tetapi mereka tidak
bisa melihat bahwa penyakit itu adalah, katakanlah, suatu tali cinta yang
digunakanoleh Allah untuk menarik para wali mendekat kepada diri-Nya. Tentang para wali ini Allah berfirman:
“Aku sakit dan kamu tidak menjenguk- Ku.” (ini hanya kiasan-pen).
Penyakit itu sendiri adalah salah satu di antara bentuk-bentuk pengalaman yang menjadi sarana
bagi manusia untuk sampai
pada pengetahuan tentang Allah, sebagaimana Ia lewat mulut nabi-Nya (SAW):
“Penyakit-penyakit itu sendiri adalah hamba-hamba-Ku, dan dikenakan atas pilihan-Ku.”
Catatan-catatan di atas
memungkinkan kita memasuki lebih dalam makna seruan-seruan yang melekat di
bibir orang-orang mukmin: “Subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, allahu akbar.” Mengenai
yang terakhir, kita bisa
berkata bahwa hal itu tidaklah
berarti bahwa Allah lebih besar
dari penciptaan, karena
penciptaan adalah pengejawantahan-Nya, sebagaimana cahaya adalah
pengejawantahan matahari. Dan akan tidak benar kalau dikatakan bahwa matahari
lebih besar dari cahayanya sendiri. Hal itu lebih berarti bahwa kebesaran Allah
sama sekali melampaui kemampuan kognitif dan bahwa kita hanya bisa membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak sempurna tentang-Nya. Jika seorang
anak meminta kita untuk menerangkan
padanya kesenangan-kesenangan yang ada di dalam pemilikan kedaulatan, kita bisa berkata bahwa hal itu adalah seperti
kesenangan-kesenangan yang ia
rasakan di dalam bermain-main dengan alat pemukul dan bola, meskipun pada
hakikatnya keduanya tidak memiliki sesuatu yang sama kecuali bahwa keduanya termasuk
ke dalam katagori
kesenangan. Jadi, seruan
Allahu akbar berarti bahwa
kebesaran-Nya jauh melampaui kemampuan pemahaman kita. Lagi pula, pengetahuan tentang
Allah yang tidak sempurna seperti itu – sebagaimana yang bisa kita peroleh –
bukanlah sekadar suatu pengetahuan spekulatif
belaka, tetapi mesti dibarengi dengan
penyerahan dan ibadah.
Jika seseorang meninggal dunia,
dia berurusan hanya
dengan Allah saja. Dan jika kita harus hidup bersama seseorang,
kebahagiaan kita sama sekali tergantung pada tingkat
kecintaan yang kita rasakan kepadanya. Cinta adalah benih
kebahagiaan, dan cinta kepada Allah ditumbuhkan dan dikembangkan



oleh ibadah. Ibadan dan zikir
yang terus-menerus seperti itu mengisyaratkan
suatu tingkat tertentu dari keprihatinan dan pengekangan nafsu-nafsu badaniah. Hal ini tidak
berarti bahwa seseorang diharapkan untuk sama
sekali memusnahkan nafsu-nafsu badaniah itu, karena jika demikian
halnya, maka ras manusia akan musnah. Tetapi batasan-batasan yang ketat mesti dikenakan pada usaha pemuasannya. Dan
karena manusia bukan hakim yang terbaik dalam kasusnya sendiri, maka untuk
menetapkan batasan- batasan apa yang harus dikenakan itu sebaiknya ia
konsultasikan masalah tersebut kepada  pembimbing-pembimbing  ruhaniah. 
Pembimbing- pembimbing ruhaniah seperti itu adalah para nabi.
Hukum-hukum yang telah mereka
tetapkan berdasar wahyu Tuhan menentukan batasan-batasan yang mesti ditaati dalam persoalan-persoalan ini. Orang yang
melanggar batas- batas ini berarti “telah menganiaya dirinya
sendiri”, sebagaimana tertulis di dalam al-Qur’an. Meskipun pernyataan
al-Qur’an ini telah jelas, masih ada juga orang-orang yang, karena kejahilannya tentang Allah, melanggar batas- batas tersebut. Kejahilan
ini bisa disebabkan karena berbagai sebab.
Pertama, ada orang yang gagal menemukan
Allah lewat pengamatan, lantas menyimpulkan bahwa Allah itu tidak ada dan bahwa dunia
yang penuh keajaiban-keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian. Mereka bagaikan seseoran
gyang melihat suatu huruf yang tertulis dengan indah kemudian menduga bahwa
tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa ada penulisnya, atau memang sudah
selalu ada. Orang-orang dengan cara berpikir seamcam ini sudah terlalu jauh
tersesat sehingga berdebat dengan mereka akan sedikit
sekali manfaatnya. Orang-orang seperti itu mirip seorang
ahli fisika dan astronomi yang kita sebut di
atas.
Kedua, sejumlah
orang yang, akibat kejahilan tentang sifat jiwa yang sebenarnya, menolak
doktrin kehidupan akhrat,
tempat manusia akan diminta
pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau dihukum. Mereka anggap diri
mereka sendiri sebagai tidak lebih baik daripada hewan-hewan atau
sayur-sayuran, dan sama-sama bisa musnah.
Ketiga, di lain
pihak, ada orang yang percaya pada Allah dan kehidupan akhirat, tapi hanya dengan iman yang lemah. Mereka berkata
kepada diri mereka sendiri.
“Allah itu Maha Besar dan tidak tergantung pada kita; kita beribadah
atau tidak merupakan
masalah yang sama sekali tidak penting bagi Dia.” Mereka berpikir seperti
orang sakit yang ketika oleh dokter diberi peraturan pengobatan tertentu kemudian
berkata: “Yah, saya ikuti atau tidak,
apa urusannya dengan dokter itu.” Tentunya hal ini tidak berakibat apa-apa
terhadap dokter tersebut, tetapi pasien itu bisa merusak
dirinya sendiri akibat ketidaktaatannya. Sebagaimana
pastinya penyakit jasad yang tak terobati berakhir dengan kematian jasad,
begitu pula penyakit jiwa yang tak tersembuhkan
akan berakhir dengan kepedihan di masa datang. Sesuai dengan kata-kata al-Qur’an: “Orang-orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”
Keempat, adalah
orang-orang kafir yang berkata: “Syariah mengajarkan kepada kita untuk
menahan amarah, nafsu dan kemunafikan. Hal ini jelas tidak mungkin dilaksanakan, mengingat manusia diciptakan dengan kualitas-



kualitas bawaan seperti ini di
dalam dirinya. Sama saja dengan kamu meminta
agar kami jelmakan
yang hitam menjadi
putih.” Orang-orang jahil itu
sama sekali buta akan kenyataan bawha syariah tidak
mengajarkan kita untuk mencerabut nafsu-nafsu ini,
melainkan untuk meletakkan mereka di dalam batas-batasnya. Sehingga, dengan
menghindar dari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa
kita yang lebih kecil. Bahkan, Nabi saw. berkata: “Saya adalah manusia
seperti kamu juga, dan marah seperti yang lain-lain.” Dan di dalam
al-Qur’an tertulis: “Allah mencintai orang-
orang yang menahan amarahnya,” bukan orang-orang yang tidak punya marah
sama sekali.
Kelima, adalah
kelompok yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata kepada
dirinya sendiri: “Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf.”
Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah
itu bersifat pemaaf,
beribu-ribu manusia hancur
secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit. Mereka mengetahui
bahwa siapa saja yang menginginkan suatu kehidupan, kemakmuran atau kepintaran,
tidak boleh sekadar berkata, “Tuhan Maha Pemaaf,” tetapi mesti
berusaha sendiri dengan
keras. Meskipun al-Qur’an berkata: “Semua makhluk hidup rizkinya datang dari
Allah,” di sana tertulis pula: “Manusia tidak mendapatkan sesuatu
kecuali dengan berusaha.” Kenyataannya adalah: ajaran semacam itu berasal
dari setan, dan orang-orang seperti itu hanya
berbicara dengan bibirnya, tidak dengan
hatinya.
Keenam, adalah
kelompok yang mengklaim sebagai telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu
sehingga dosa tidak dapat lagi mempengaruhi mereka. Meski demikian, jika anda
perlakukan salah seorang di antara mereka dengan tidak hormat, dia akan menaruh
dendam terhadap anda selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di antara
mereka tidak mendapatkan sebutir makanan yang dia pikir merupakan haknya,
seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya. Bahkan, jika ada di antara
mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsu-nafsunya, mereka tidak punya hak untuk membuat klaim
semacam itu, mengingat
para nabi jenis manusia yang tertinggi – terus-menerus
mengakui dan meratapi dosa-dosa mereka. Beberapa di antara mereka mempunyai
dosa yang sedemikian besar, sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal
yang halal. Pernah diriwayatkan dari
Nabi saw. bahwa suatu hari ketika sebutir koma dibawa kepadanya, beliau tidak mau memakannya hanya lantaran tidak yakin bahwa korma tersebut diperoleh secara
halal. Sementara orang-orang yang berkehidupan bebas ini mau meneguk
berliter-liter anggur dan mengklaim (saya menggigil pada saat menulis ini)
sebagai lebih unggul dari Nabi yang kesuciannya diancam oleh sebutir kurma,
sementara mereka tidak terpengaruh oleh anggur sebanyak itu. Patutlah jika
setan membenamkan mereka ke dalam kehancuran total. Orang-orang suci sejati
mengetahui bahwa orang yang tidak bisa menguasai nafsu-nafsunya tidak pantas disebut sebagai seorang manusia. Dan
bahwa seorang muslim sejati adalah orang yang dengan senang hati mau mengakui
batas-batas yang ditetapkan oleh syariah. Orang yang berupaya dengan dalih apa
pun untuk mengabaikan kewajiban-kewajibannya, sudah jelas berada dalam pengaruh
setan dan harus diajak berbicara tidak dengan sebatang pena, tapi dengan sebilah



pedang. Para penganut mistik
palsu semacam ini kadang-kadang berpura- pura telah tenggelam di dalam lautan
ketakjuban. Tetapi, jika anda bertanya kepada mereka tentang apa yang mereka
takjubkan, mereka tidak tahu. Mereka mesti disuruh
agar takjub semau
mereka, tetapi pada saat yang sama
agar mengingat bahwa Yang Maha Kuasa adalah penciptanya, dan bahwa mereka
adalah abdi-abdi-Nya.



BAB 3
: Pengetahuan Tentang Dunia Ini

Dunia ini adalah sebuah
panggung atau pasar yang disinggahi oleh para musafir di tengah perjalannya ke tempat lain. Di sinilah
mereka membekali diri dengan berbagai perbekalan untuk
perjalanan itu. Jelasnya, di sini manusia dengan menggunakan indera-indera
jasmaniahnya, memperoleh sejumlah pengetahuan tentang karya-karya Allah serta,
melalui karya-karya tersebut, tentang Allah sendiri. Suatu pandangan
tentang-Nya akan menentukan kebahagiaan masa-depannya. Untuk memperoleh
pengetahuan inilah ruh manusia diturunkan ke alam air dan lempung ini. Selama
indera-inderanya masih tinggal bersamanya, dikatakan bahwa ia berada di
“alam ini”. Jika kesemuanya
itu pergi dan hanya sifat-sifat esensinya saja yang tinggal, dikatakan ia telah
pergi ke “alam lain”.
Sementara manusia berada di
dunia ini ada dua hal yang perlu baginya. Pertama, perlindungan dan
pemeliharaan jiwanya; kedua, perawatan dan pemeliharaan jasadnya. Pemeliharaan yang tepat
atas jiwanya, sebagaimana ditunjukkan di atas, adalah
pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Terserap ke dalam kecintaan akan segala
sesuatu selain Allah berarti keruntuhan jiwa. Jasad bisa dikatakan sebagai
sekadar hewan tunggangan jiwa dan musnah, sementara jiwa terus abadi. Jiwa
mesti merawat badan persis sebagaimana seorang
peziarah, dalam perjalanannya ke Makkah, merawat
ontanya. Tetapi jika sang
peziarah menghabiskan waktunya untuk memberi makan dan menghiasi ontanya,
kafilah pun akan meninggalkannya dan ia akan mati di padang pasir.
Kebutuhan-kebutuhan jasmaniah
manusia itu sederhana saja, hanya terdiri dari tiga hal; makanan, pakaian dan
tempat tinggal. Tetapi nafsu-nafsu jasmaniah
yang tertanam di dalam dirinya
dan keinginan untuk
memenuhinya cenderung untuk memberontak melawan nalar yang lebih belakangan tumbuh dari nafsu-nafsu itu. Sesuai dengan itu, sebagaimana
kita lihat di atas,  mereka perlu
dikekang dan dikendalikan dengan hukum-hukum Tuhan yang disebarkan oleh para nabi.
Sedangkan mengenai dunia yang
mesti kita garap, kita dapati ia terkelompokkan dalam tiga bagian, hewan,
tetumbuhan dan barang tambah. Produk-produk dari ketiganya terus-menerus
dibutuhkan oleh manusia dan telah mengembangkan tiga pekerjaan besar; pekerjaan
para penenun, pembangun dan pekerja logam. Sekali lagi, semuanya itu memiliki
banyak cabang yang lebih rendah seperti penjahit, tukang batu dan tukang besi.
Tidak ada daripadanya yang bisa sama sekali bebas dari yang lain. Hal ini
menimbulkan berbagai macam hubungan perdagangan dan seringkali mengakibatkan
kebencian, iri hari, cemburu dan lain-lain penyakit jiwa. Karenanya timbullah
pertengkaran dan perselisihan, kebutuhan akan pemerintahan politik dan sipil
serta ilmu hukum.
Demikianlah, pekerjaan-pekerjaan dan bisnis-bisnis di dunia ini telah menjadi semakin rumit dan menimbulkan kekacauan. Sebab utamanya
adalah



manusia telah lupa bahwa
kebutuhan-kebutuhan mereka sebenarnya hanya tiga; pakaian, makanan dan tempat
tinggal, dan bahwa kesemuanya itu ada hanya demi menjadikan jasad sebagai
kendaraan yang layak bagi jiwa di dalam perjalanannya menuju dunia berikutnya.
Mereka terjerumus ke dalam kesalahan yang sama sebagaimana sang peziarah menuju
Makkah yang, karena melupakan tujuan
ziarah dan dirinya sendiri, terpaksa menghabiskan seluruh waktunya
untuk memberi makan dan menghiasi
ontanya. Seseorang pasti akan
terpikat dan terseibukkan oleh dunia – yang oleh Rasulullah dikatakan sebagai
tukang sihir yang lebih kuat daripada Harut dan Marut – kecuali jika
orang tersebut menyelenggarakan pengawasan yang paling
ketat.
Watak penipu dari dunia ini
bisa mengambil berbagai bentuk. Pertama, ia berpura-pura
seakan-akan bakal selalu tinggal dengan anda, sementara nyatanya ia pelan-pelan
menyingkir dari anda dan menyampaikan salam perpisahan, sebagaimana suatu
bayangan yang tampaknya tetap, tetapi kenyatannya
selalu bergerak. Demikian pula, dunia menampilkan dirinya di balik kedok nenek
sihir yang berseri-seri tetapi tak bermoral, berpura-pura mencintai anda,
menyayangi anda dan kemudian membelot kepada musuh anda, meninggalkan anda mati
merana karena rasa kecewa dan putus asa. Isa a.s. melihat dunia terungkapkan
dalam bentuk seorang wanita tua yang buruk muka. Ia bertanya kepada wanita itu,
berapa banyak suami yang dipunyainya, dan mendapat jawaban, jumlahnya tak
terhitung. Ia bertanya lagi, telah matikah mereka ataukah diceraikan. Kata si
wanita, ia telah memenggal mereka semua. “Saya heran”, kata Isa a.s.,
“atas kepandiran orang yang
melihat apa yan gtelah kamu kerjakan kepada orang lain, tetapi masih tetap
menginginimu.” Wanita sihir ini mematut dirinya dengan pakaian indah-indah dan penuh permata,
menutupi mukanya dnegan
cadar, kemudian mulai merayu
manusia. Sangat banyak dari mereka yang mengikutinya menuju kehancuran diri
mereka sendiri. Rasulullah saw. Bersabda bahwa di Hari Pengadilan, dunia ini akan
tampak dalam bentuk seorang nenek sihir yang
seram, dengan mata yang hijau dan gigi bertonjolan. Orang-orang yang melihat mereka akan berkata, “Ampun! Siapa ini?”
Malaikat pun akan menjawab, “Inilah dunia
yang deminya engkau
bertengkar dan berkelahi serta saling merusakkan kehidupan satu sama lain.”
Kemudian wanita itu akan dicampakkan ke dalam neraka sementara dia menjerit
keras-keras, “Oh Tuhan, di mana pencinta-pencintaku dahulu?” Tuhan
pun kemudian akan memerintahkan agar
mereka juga dilemparkan mengikutinya.
Siapa pun yang mau secara
serius merenung tentang keabadian yang telah lalu, akan melihat bahwa kehidupan
ini seperti sebuah perjalanan yang babakannya dicerminkan oleh tahun, liga-liga
(ukuran jarak, kira-kira sama dengan tiga mil) oleh bulan,
mil-mil oleh hari, dan langkah-langkah oleh saat. Kemudian, kata-kata apa yang bisa menggambarkan ketololan
manusia yang berupaya untuk
menjadikannya tempat tinggal abadi dan membuat rencana- rencana untuk sepuluh
tahun mendatang mengenai apa-apa yang boleh jadi tak pernah ia butuhkan, karena
sangat mungkin ia sepuluh hari lagi sudah berada di bawah tanah.
Orang-orang yang telah
mengumbar diri tanpa batas dengan kesenangan- kesenangan dunia ini, pada saat
kematiannya akan seperti seseorang yang



memenuhi perutnya dengan bahan
makanan terpilih dan lezat, kemudian memuntahkannya. Kelezatannya telah hilang,
tetapi ketidak-enakannya tinggal. Makin berlimpah harta yang telah mereka
nikmati – taman-taman, budak-budak
laki dan perempuan, emas, perak dan lain sebagainya – akan makin keraslah
mereka rasakan kepahitan berpisah dari semuanya itu. Kepahitan ini akan terasa
lebih berat dari kematian, karena jiwa yan gtlah menjadikan ketamakan sebagai
suatu kebiasaan tetap akan menderita di dunia yang akan datang akibat kepedihan
nafsu-nafsu yang tak terpuasi.
Sifat berbahaya lainnya dari
benda-benda duniawi adalah bahwa pada mulanya mereka tampak sebagai sekadar
hal-hal sepele, tetapi hal-hal yang dianggap sepele ini masing-masing bercabang
tak terhitung banyaknya sampai menelan seluruh waktu dan energi manusia. Isa
a.s. bersabda: “Pencinta dunia ini seperti seseorang yang minum air laut;
makin banyak minum, makin hauslah ia sampai akhirnya mati akibat kehausan yang
tak terpuasi,” Rasulullah saw. bersabda: “Engkau tak bisa lagi bercampur dengan dunia tanpa terkotori olehnya, sebagaimana engkau tak bisa menyelam
dalam air tanpa menjadi basah”.
Dunia ini seperti sebuah meja
yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang dan pergi silih berganti. Ada
piring-piring emas dan perak, makanan dan parfum yang berlimpah-limpah. Tamu
yang bijaksana makan sebanyak yang ia butuhkan, menghirup harum-haruman,
mengucapkan terima kasih pada tuan rumah, lalu pergi. Sebaliknya tamu-tamu yang
tolol mencoba untuk membawa beberapa piring emas dan perak hanya dengan akibat
semua itu direnggutkan dari tangannya dan ia pun dicampakkan ke dalam keadaan kecewa dan malu.
Akan kita tutup gambaran
tentang sifat-menipu dunia dengan tamsil pendek berikut ini. Misalkan sebuah
kapal akan sampai pada sebuah pulau yang berhutan lebat. Kapten kapal berkata kepada
para penumpang bahwa ia akan berhenti selama beberapa jam di
sana, dan mereka boleh berjalan-jalan di pantai sebentar, tetapi memperingatkan mereka agar tidak terlalu lama. Maka
para penumpang pun turun dan bertebaran ke berbagai arah. Meskipun demikian,
orang yang paling bijaksana akan segera kembali, menemukan bahwa kapal itu kosong, lalu memilih
tempat yan gpaling nyaman di dalamnya. Kelompok penumpang yang kedua
menghabiskan waktu yang agak lebih
lama di pulau tersebut, mengagumi dedaunan, pepohonan dan mendengarkan nyanyian
burung-burung. Ketika kembali ke kapal mereka
temui tempat-tempat yang paling nyaman di kapal tersebut telah terisi
dan terpaksa puas dengan tempat yang agak kurang nyaman. Kelompok ketiga
berjalan-jalan lebih lauh lagi dan menemukan batu-batu berwarna yang amat indah, lalu membawanya kembali ke
kapal. Keterlambatan itu memaksa mereka untuk mendekam jauh di bagian paling
rendah kapal itu, tempat mereka dapati batu-batuan yang mereka bawa – yang
ketika itu telah kehilangan segenap keindahannya – mengganggu mereka di
perjalanan. Kelompok terakhir berjalan-jalan sedemikian jauh sehingga
tak bisa dijangkau lagu oleh suara kapten kapal
yang memanggil mereka untuk kembali ke kapal.
Sehingga kapal itu pun akhirnya
terpaksa berlayar tanpa mereka.



Meraka luntang-lantung dalam
keadaan tanpa harapan dan akhirnya mati kelaparan, atau menjadi mangsa binatang
buas.
Kelompok pertama mencerminkan
orang-orang beriman yang sama sekali menjauhkan diri dari dunia, dan kelompok
yang terakhir adalah kelompok orang kafir yang hanya mengurusi dunia ini dan
sama sekali tidak mengacuhkan yang akan datang. Dua kelompok di antaranya
adalah orang- orang yang masih mempunyai iman, tapi menyibukkan diri mereka,
sedikit atau banyak, dengan kesia-siaan benda-benda sekarang.
Meskipun telah kita katakan
banyak hal yang menentang dunia,
mesti diingat bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tidak termasuk
di dalamnya, seperti ilmu dan amal baik. Seseorang
membawa bersamanya ilmu yang ia miliki ke
dunia yang akan datang dan, meskipun amal-amal baiknya telah lampau, efeknya tetap tinggal dalam pribadinya.
Khususnya dengan ibadah yang menjadikan orang terus-menerus ingat dan cinta kepada Allah.
Semuanya ini termasuk “hal-hal yang baik”, dan sebagaimana difirmankan dalam al-Quran,
“tidak akan hapus.”
Ada hal-hal lainnya yang baik
di dunia ini, seperti perkawinan, makanan, pakaian dan lain sebagainya, yang
oleh orang yang bijaksana digunakan sekadarnya
untuk membantunya mencapai dunia yang akan datang. Benda- benda lain yang memikat pikiran yang menyebabkan setiap
kepada dunia ini dan ceroboh
tentang dunia lain, adalah benar-benar kejahatan dan disebutkan oleh Rasulullah
saw. dalam sabdanya: “Dunia ini terkutuk dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya juga terkutuk, kecuali
zikir kepada Allah dan segala
sesuatu yang mendukung perbuatan itu.”



BAB 4 : Pengetahuan Tentang Akhirat

Berkenaan dengan nikmat surgawi
dan siksaan-siksaan neraka yang akan mengikuti kehidupan ini, semua orang yang
percaya pada al-Qur’an dan Sunnah sudah cukup mengetahuinya. Tapi ada suatu hal
yang sering terlewatkan oleh mereka, yaitu bahwa ada juga suatu surga ruhaniah
dan neraka ruhaniah. Mengenai
surga ruhaniah, Allah
berfirman kepada NabiNya, “Mata tidak melihat, tidak
pula telinga mendengarnya, tak pernah pula terlintas dalam hati manusia apa-apa
yang disiapkan bagi orang-orang yang takwa.” Di dalam hati manusia yang
tercerahkan ada sebuah jendela yang membuka ke arah hakikat-hakikat dunia
ruhaniah, sehingga ia mengetahui – bukan dari kabar angin atau kepercayaan
tradisional, melainkan dengan pengalaman nyata – segala sesuatu yang
menyebabkan kerusakan ataupun kebahagiaan di dalam jiwa, persis sama jelas dan
tegasnya sebagaimana seorang dokter mengetahui apa yang menyebabkan penyakit
ataupun menyehatkan tubuh. Ia tahu bahwa pengetahuan tentang Allah dan ibadah
bersifat mengobati, dan bahwa kejahilan dan dosa adalah racun-racun maut bagi
jiwa. Banyak orang, bahkan juga yang disebut sebagai ulama, karena mengikuti secara
membuta pendapat orang
lain, tidak mempunyai
keyakinan yang sesungguhnya dalam iman mereka berkenaan dengan
kebahagiaan atau penderitaan jiwa di akhirat.
Tetapi orang yang mau mempelajari masalah ini dengan pikiran yang tak terkotori oleh prasangka
akan sampai pada keyakinan yang jelas tentang masalah ini.
Akibat kematian atas sifat
gabungan (komposit) manusia adalah sebagai berikut. Manusia punya dua jiwa,
jiwa hewani dan jiwa ruhani. Jiwa ruhani ini
bersifat malaikat. Tempat
jiwa hewaniah adalah
dalam hati, tempat dari mana jiwa ini menyebar seperti uap halus
dan menyelusupi semua anggota tubuh, memberikan tenaga atau kemampuan melihat
pada mata, mendengar pada telinga, serta kepada semua anggota tubuh memberikan
kemampuan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal ini bisa dibandingkan
dengan sebuah lampu yang ditempatkan di dalam suatu pondok yang cahayanya jatuh
pada dinding-dinding ke mana pun ia pergi. Hati adalah sumbu lampu ini, dan jika penyaluran minyaknya diputus karena
suatu alasan, maka matilah
lampu itu. Seperti itulah kematian
jiwa hewani. Tidak demikian halnya
dengan jiwa ruhani atau jiwa manusiawi. Ia tak terpilahkan dan dengannya
manusia mengenali Allah. Boleh dikatakan dialah pengendara jwa hewani. Dan ketika jiwa hewani musnah, ia tetap
tinggal, tetapi laksana seorang penunggang kuda yang telah turun atau seperti
seorang pemburu yan gtelah kehilangan senjatanya. Kuda dan senjata-senjata itu
dianugerahkan pada jiwa manusia agar dengan itu semua ia bisa mengejar
dan menangkap keabadian
cinta dan pengetahuan tantang
Allah. Jika ia telah berhasil
melakukan penangkapan itu, maka bukannya berkeluh kesah, ia pun
merasa lega ketika bisa menyingkirkan senjata-senjata itu. Oleh karena
itu Rasulullah saw. bersabda,
“Kematian adalah suatu hadiah Tuhan yang diharap-harapkan oleh para
mukminin.” Tapi celakalah
kalau jiwa itu kehilangan kuda dan senjata-senjata pemburuannya sebelum
berhasil memperoleh hadiah tersebut. Kesedihan dan penyesalannya akan tak terperikan.



Pembahasan yang agak lebih jauh
akan menunjukkan betapa bedanya jiwa manusia dari jasad dan anggota-anggotanya.
Setiap anggota tubuh bisa rusak dan berhenti bekerja, tapi individualitas jiwa
tak terganggu. Lebih jauh lagi, jasad yang anda miliki sekarang tidak lagi
berupa jasad sebagaimana yang anda miliki pada waktu kecil, melainkan sudah
berbeda sama sekali. Meskipun demikian, kepribadian anda sekarang ini sama dengan
pada waktu itu. Karena
itu, sangat mudahlah
untuk membayangkannya sebagai
terus ada bersama-sama sifat-sifat esensialnya yang tak tergantung pada
tubuh, seperti pengetahuan
dan cinta akan Tuhan. Inilah arti ayat al-Qur’an, “hal-hal yang baik itu
abadi.” Tetapi, jika sebaliknya daripada membawa pengetahuan bersama anda,
anda malah menyeleweng dalam kejahilan tentang Allah. Kejahilan ini juga merupakan suatu sifat esensial dan akan
tinggal abadi bagai kegelapan jiwa dan benih kesedihan. Oleh karena itu,
al-Qur’an berkata, “Orang yang buta di dalam hidup
ini akan buta di akhirat
dan tersesat dari jalan yang lurus.”
Alasan bagi kembalinya ruh
manusia yang sedang kita bicarakan ini merujuk
ke dunia yang lebih tinggi adalah bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia
bersifat malaikat. Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah
ini berlawanan dengan kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana Allah berfirman di dalam al-Qur’an, “Turunlah dari sini kamu semuanya, akan datang padamu perintah-perintah
dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak perlu takut dan tak perlu pula mereka
gelisah.” Ayat: “Aku tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku” juga
menunjukkan asal samawi jiwa manusia. Sebagaimana kesehatan jiwa hewani adalah
berupa kesimbangan dari bagian-bagian penyusunannya, dan keseimbangan ini bisa
dipulihkan jika mengalami gangguan, oleh obat-obat yang sehat, demikian pulalah
kesehatan jiwa manusia berbentuk suatu keseimbangan moral yang dipelihara dan
diperbaiki, jika dibutuhkan, oleh perintah-perintah etis dan ajaran-ajaran moral.
Berkenaan dengan kemaujudan
dunia di masa yang akan datang, telah kita lihat bahwa jiwa manusia
secara esensial tak tergantung pada tubuh. Semua keberatan terhadap kemaujudannya
setelah kematian, didasarkan pada dugaan adanya keperluan akan pemulihan jasad
terdahulunya yang telah jatuh ke tanah. Beberapa ahli kalam menduga bahwa jiwa
manusia tak termusnahkan setelah mati, malah terpulihkan. Tetapi hal ini
sesungguhnya bertentangan baik dengan nalar maupun al-Qur’an. Yang disebut
terdahulu menunjukkan pada kita bahwa kematian tidak menghancurkan
individualitas esensial seorang manusia dan al-Qur’an berkata, “Jangan
kamu pikir orang- orang yang terbunuh
du jalan Allah itu telah mati. Tidak!
Mereka masih hidup, bergembira dengan kehadiran Tuhan mereka dan di dalam
limpahan karunia atas mereka.” Tidak satukata pun disebutkan di dalam syariah
tentang orang- orang mati,
yang baik maupun jahat, sebagai termusnahkan. Malah, Nabi saw. diriwayatkan telah bertanya kepada
arwah orang-orang kafir yang terbunuh tentang apakah mereka mendapati
hukuman-hukuman yang diancamkan kepada mereka sesuatu yang benar atau tidak.
Ketika para pengikutnya bertanya kepadanya apa gunanya bertanya kepada mereka,
beliau menjawab: “Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada
engkau.”



Beberapa orang sufi telah dapat menampak
dunia dan neraka
yang tak kasat mata, diungkapkan kepada mereka pada
saat-saat mereka berada dalam keadan kerasukan (trance) seperti mati. Pada saat
pulihnya kesadaran, muka-muka mereka menggambarkan sifat ungkapan-ungkapan yang
telah mereka terima dengan tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa ataupun kepanikan. Tapi tidak perlu lagi visi
untuk membuktikan kepada manusia- manusia yang berpikir
apa-apa yang akan terjadi. Yaitu
ketika kematian telah mencabut indera-inderanya dan
meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun kecuali kepribadian telanjangnya, jika
ketika di atas bumi ia terlalu asyik menyibukkan dirinya dengan benda-benda
cerapan indera – seperti isteri, anak,
kekayaan, tanah, budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya – ia akan
menderita ketika kehilangan benda-benda ini. Sebaliknya, jika ia telah
membalikkan punggung sejauh-jauhnya dari semua benda-benda duniawi dan
meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar terhadap Allah, ia akan menyambut
kematian sebagai suatu sarana untuk melarikan diri dari kerepotan-kerepotan
duniawi dan bergabung dengan Ia yang dicintainya. Dalam kasus ini, sabda Rasul akan akan terbukti: “Kematian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat”; “dunia ini surga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang-orang mukmin.”
Di pihak lain, semua derita yang ditanggung oleh jiwa setelah
mati bersumber pada cinta
yang berlebih-lebihan terhadap
dunia. Rasulullah bersabda
bahwa semua oran gkafir setelah mati akan disiksa oleh 99 ular,
masing-masing memiliki 9 kepala. Beberapa orang yang berpikiran sederhana telah
memeriksa kuburan orang-orang kafir ini dan bertanya-tanya mengapa mereka tak
bisa melihat ular-ular ini. Mereka tidak paham bahwa ular-ular ini bersemayam di dalam ruh orang-orang
kafir itu dan bahwa kesemuanya itu sudah ada di dlam diri orang-orang kafir
tersebut, bahkan sebelum ia mati. Karena semuanya itu sesungguhnya adalah
simbol-simbol sifat jahatnya, seperti cemburu, kebencian, kemunafikan,
kesombongan, kelicikan dan lain sebagainya. Sifat-sifat itu semuanya bersumber,
secara langsung maupun tidak, pada kecintaan terhadap dunia ini. Itulah neraka
yang disediakan bagi orang-orang yang di dlam al-Qur’an dikatakan
“meneguhkan hati mereka pada dunia ini lebih daripada akhirat”. Jika
ular-ular itu sekadar bersifat eksternal belaka, mereka akan bisa berharap
untuk melarikan diri dari siksanya, meskipun hanya untuk sesaat
saja. Tetapi jika semuanya itu sudah
menjadi sifat-sifat bawaan mereka, bagaimana mereka bisa melarikan diri?.
Ambillah contoh kasus seseorang yang menjual seorang budak perempuan tanpa tahu
seberapa jauh ia telah terikat dengannya sampai ketika perempuan itu telah sama
sekali berada di luar jangkauannya. Kemudian kecintaan pada budak itu, yang
selama ini tertidur, bangun di dalam dirinya dengan suatu intensitas yang
menyiksanya, menyengatnya seperti ular. Ia bisa gila karenanya, mencapakkan
dirinya ke dalam api atau air untuk melarikan diri darinya. Inilah akibat cinta
terhadap dunia, yang tidak pernah terbayang dalam diri orang-orang yang
memilikinya sampai ketika dunia direnggut dari mereka dan kemudian siksaan
kesia-siaan membuat mereka mau dengan senang
hati menukarnya dengan
sekadar ular-ular dan kepiting-
kepiting eksternal belaka, berapa pun jumlahnya. Karenanya, setiap orang yang
berbuat dosa membawa perkakas-perkakas hukumannya sendiri ke dunia di balik kematian. Benar kata al-Qur’an: “Sesungguhnya kalian akan



melihat neraka. Kalian akan
melihatnya dengan mata keyakinan (ainul- yaqin)”, dan “neraka
mengitari orang-orang kafir.” Ia tidak berkata akan mengitari mereka, karena neraka sudah mengitari mereka sekarang
juga.
Mungkin ada orang yang
berkeberatan. Jika demikian halnya, kemudian
siapakah yang bisa menghindar dari neraka, karena siapakah orang yang sedikit banyak tidak terikat pada dunia
dengan berbagai ikatan kesenangan dan kepentingan. Atas pertanyaan ini kita menjawab
bahwa ada orang-orang, terutama para faqir, yang telah sama sekali melepaskan diri mereka dari cinta
terhadap dunia. Tetapi bahkan di antara orang-orang yang memiliki
kekayaan-kekayaan duniawi seperti isteri,
anak, rumah dan lain sebagainya
– masih ada juga orang-orang
yang, meskipun mereka memiliki kecintaan terhadap
benda-benda ini, mencintai Allah lebih dari segalanya. Kasus mereka adalah
seperti seseorang yang,
meskipun mempunyai sebuah
tempat tinggal yan gia cintai di suatu kota, ketika diminta oleh sang
raja untuk mengisi suatu pos kekuasaan di kota lain, ia melakukannya dengan
senang hati, karena pos kekuasaan itu lebih berharga baginya daripada tempat
tinggalnya terdahulu. Para nabi dan banyak di antara para wali adalah
orang- orang seperti itu.
Dalam jumlah besar, ada pula orang-orang lain yang memiliki
kecintaan pada Allah, tetapi
kecintaannya terhadap dunia ini demikian berlebihan dalam diri mereka sehingga
mereka akan harus menderita siksaan yang cukup besar setelah kematian sebelum
mereka sama sekali terbebaskan daripadanya. Banyak yang memiliki kecintaan
kepada Allah, tapi seseorang bisa dengan mudah menguji dirinya dengan melihat
ke mana cenderungnya lengan timbangan cintanya ketika
perintah-perintah Allah datang
berbenturan dengan beberapa keinginannya. Pemilikan akan cinta kepada Allah yang tidak cukup
menahan seseorang dari pembangkangan kepada Allah adalah suatu kebohongan.
Telah kita lihat di atas bahwa
salah satu jenis neraka ruhani itu berbentuk
pemisahan secara paksa dari benda-benda duniawi yang kepadanya hati terikat terlalu erat. Banyak orang yang
tanpa sadar membawa dalam dirinya kuman-kuman neraka seperti itu. Mereka akan
merasa seperti seorang raja yang setelah menjalani hidup mewah, dicampakkan
dari singgasananya dan menjadi bahan tertawaan.
Jenis kedua neraka ruhani adalah malu, yaitu ketika
seseorang dibangunkan untuk
melihat sifat tindakan-tindakan yang dulu dilakukannya dalam hakikat
telanjangnya. Orang yang mengumpat akan melihat dirinya dalam bentuk seorang kanibal
yang makan daging saudaranya yang telah mati. Orang yang mempunyai sifat iri hati akan tampak
sebagai seseorang yang melemparkan batu-batu ke dinding, kemudian batu-batu itu
memantul kembali dan mengenai mata anaknya sendiri.
Neraka jenis ini, yaitu malu,
bisa disimpulkan dengan perumpamaan ringkas berikut ini. Misalkan seorang raja
baru selesai merayakan perkawinan anak laki-lakinya. Pada malam harinya,
laki-laki muda itu pergi keluar dengan beberapa orang sahabat dan kemudian
kembali ke istana dalam keadaan



mabuk. Ia memasuki sebuah kamar
yang terang dan kemudian berbaring di samping tubuh yang diduganya sebagai
mempelai wanitanya. Pagi harinya, ketika kesadarannya pulih, ia terperanjat
ketika mendapati dirinya berada di dalam sebuah kamar mayat para penyembah-api.
Sofanya adalah tandu jenazah, dan bentuk yang disalah-mengertikannya sebagai
mempelai perempuannya adalah mayat seorang wanita tua yang mulai membusuk.
Ketika keluar dari kamar mayat dengan pakaian kumuh, betapa malunya ia ketika ayahnya,
sang raja, menghampirinya dengan serombongan tentara.
Itu gambaran perumpamaan tentang rasa malu yang akan dirasakan di
akhirat oleh orang-orang yang dengan serakah
telah memasrahkan diri mereka pada hal-hal yang mereka anggap sebagai kebahagiaan.
Neraka ruhaniah ketiga
berbentuk kekecewaan dan kegagalan untuk mencapai obyek kemaujudan yang
sesungguhnya. Manusia diciptakan dengan maksud untuk mencermini cahaya
pengetahuan akan Tuhan. Tapi jika ia sampai di akhirat dengan jiwa yang
tersaput tebal oleh karat pengumbaran nafsu inderawi, ia akan sama sekali gagal
untuk memperoleh tujuan penciptaannya. Kekecewaannya bisa digambarkan dengan
cara berikut. Misalkan seseorang sedang melewati sebuah hutan gelap bersama
beberapa orang sahabat. Di sana-sini berkelap-kelip di atas tanah,
bertebaran batu-batu berwarna. Para sahabatnya mengumpulkan dan membawa benda- benda itu seraya menasehatinya
agar ia turut melakukan hal yang sama. “Karena,” kata mereka,
“kami dengar batu-batu itu akan memperoleh harga tinggi di tempat yang
akan kita datangi.” Tapi orang ini malah
menertawakan mereka dan menyebut mereka sebagai orang-orang pandir
karena menyimpan harapan sia-sia
untuk memperoleh sesuatu,
sementara ia sendiri bisa berjalan bebas tak berbebani.
Kemudian mereka pun menjelang terang tanah dan mendapati bahwa batu-batu yang berwarna-warni itu ternyata batu- batu delima, Zamrud dan
permata-permata lain yang tak terkira harganya. Kekecewaan dan penyesalan orang
itu, karena tidak mengumpulkan benda- benda
yang sudah berada
dalam jangkauannya itu, lebih mudah
dibayangkan daripada diperikan. Seperti
itulah jadinya penyesalan orang-orang yang ketika melalui duni aini tidak berusaha memperoleh permata-permata kebajikan dan perbendaharaan-perbendaharaan agama.
Perjalanan manusia di dunia ini
bisa dikelompokkan dalam empat tahap – yang inderawi, eksperimental, instingtif
dan rasional. Dalam tahap yang pertama ia seperti seekor rayap yang, meskipun
memiliki penglihatan, tak punya
kemampuan mengingat dan akan menghapuskan dirinya terus- menerus pada lilin
yang sama. Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang, setelah sekali digigit,
akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul. Pada tahap ketiga, ia seperti
seekor kuda atau domba yang, secara instingtif, terbang seketika tatkala
melihat seekor macan atau srigala – musuh-musuh alaminya – sementara mereka tak
akan lari jika melihat seekor onta atau kerbau, meskipun kedua binatang ini
lebih besar ukurannya. Di dalam tahap yang keempat manusia sama sekali
mengatasi batas-batas binatang itu sehingga
mampu, sampai batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan diri bagi masa depan.
Gerakan-gerakannya pada mulanya
bisa dibandingkan dengan
berjalan biasa di atas tanah, kemudian menyeberangi laut dengan sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat ketika ia sudah akrab



dengan hakikat-hakikat –
berjalan di atas air. Sementara itu, di balik dataran ini masih ada dataran
kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa dibandingkan dengan
terbang mengarungi udara.
Jadi manusia punya kemampuan
untuk dada pada berbagai dataran yang berbeda, mulai dari dataran hewaniah
sampai dataran malaikat. Dan persis dalam hal inilah terletak bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran yang paling rendah. Di dalam
al-Qur’an tertulis, “Telah Kami tawarkan (yaitu tanggung jawab atau
kehendak bebas) kepada lelangit dan bumi serta gunung-gunung; mereka menolak
untuk menanggungnya. Tetapi manusia mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh.” Tidak hewan tidak pula malaikat bisa mengubah tingkat
dan tempat ia ditempatkan. Tetapi seseorang bisa tenggelamke dataran hewaniah
atau terbang ke dataran malaikat, dan inilah arti dari “penanggungan beban” sebagaimana disebutkan di atas oleh al-Qur’an.
Sebagian besar manusia memilih untuk berada di
dua tahap terndah tersebut di atas, dan yang tetap tinggal biasanya
selalu bersikap bermusuhan dengan orang yang bepergian atau musafir yang
jumlahnya jauh lebih sedikit.
Banyak orang dari kelas yang
disebut terdahulu, karena tidak memiliki keyakinan yang teguh tentang dunia
yang akan datang, ketika dikuasai oleh nafsu-nafsu inderawi, menolaknya sama
sekali. Mereka berkata bahwa neraka adalah suatu temuan para ahli ilmu kalam
belaka untuk menakut- nakuti orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam
dengan penghinaan terbuka. Berbdebat dengan
orang-orang seperti ini sedikit sekali
manfaatnya. Meskipun demikian, ada yang bisa dikatakan pada orang yang
seperti ini yang mungkin bisa membuatnya berhenti dan merenung. “Benarkah
anda sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali yang percaya pada
kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya,
benar?” Jika ia menjawab, “Ya,” saya sedemikian yakin – sebagaimana
saya yakin bahwa dua lebih besar daripada satu bahwasanya jiwa dan kehidupan masa depan dalam bentuk
kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada, maka
manusia seperti itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Yang bisa diperbuat hanyalah
meninggalkannya sendiri sembari
mengingat kata-kata al- Qur’an, “Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat.”
Tetapi jika ia berkata bahwa
kehidupan masa depan adalah suatu kebolehjadian, hanya bahwa doktrin itu penuh
mengandung keraguan dan misteri, sehingga tidak
mungkin untuk bisa memutuskan benarkah
hal itu atau tidak, maka seseorang bisa berkata kepadanya, “Jika
demikian, sebaiknya anda selesaikan baik-baik keraguan itu.” Misalkan anda
sedang akan makan makanan, kemudian
seseorang berkata kepada
anda bahwa seekor
ular telah meludahkan bisa ke dalamnya,
maka mungkin sekali
anda akan menahan
diri dan lebih baik menahan kepedihan rasa lapar daripada memakannya,
meskipun orang yang
memberi informasi pada anda mungkin
hanya bercanda atau berbohong
belaka. Atau misalkan anda sedang sakit dan seorang penulis syair berkata,
“Beri saya satu dirham dan saya akan menulis sebuah puisi yang bisa
kauikatkan di lehermu, yang akan menyembuhkannya dari sakit.” Anda boleh
jadi akan memberikan dirham yang dimintanya dengan harapan bisa mendapatkan manfaat
jimat itu. Atau jika seoran
gperamal



berkata, “Pada saat bulan
telah sampai ke suatu bentuk tertentu, minumlah obat ini dan itu dan engkau pun
akan sembuh.” Meskipun mungkin anda sedikir sekali percaya pada astrologi,
kemungkinan besar anda akan mencoba juga pengalaman itu dengan harapan bahwa
orang itu benar. Tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran yang bisa dipercaya
juga terdapat dalam kata-kata nabi, para wali dan orang-orang suci, yang
menyakinkan orang akan adanya
kehidupan mendatang, sebagaimana janji seorang penulis jampi-jampi atau seorang
peramal. Orang berani melakukan perjalanan lewat laut yan gpenuh resiko demi
mengharap suatu keuntungan, maka tidak
maukah anda menanggung sedikir penderitaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di akhirat?
Sayyidina Ali Zainal Abidin
(Putra Hesain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW) ketika berdebat
dengan seorang kafir pernah berkata,
“Jika anda benar, maka tidak seoran gpun di antara kita yang akan
menderita keadaan yang lebih buruk di masa depan.
Tetapi jika kami yang benar, maka
kami akan terhindar dan anda akan menderita.” Hal ini dikatakannya bukan
karena ia sendiri berada dalam keraguan, tetapi hanya demi menciptakan suatu kesan bagi orang kafir itu. Berdasar semua
pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun
jika ia ragu-ragu tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa
ia harus bertindak seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar
biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti
ajaran-ajaran Allah.



BAB 5    :   Tentang Musik dan Tarian Sebagai Pembantu

Kehidupan Keagamaan
Hati manusia diciptakan oleh
Yang Maha Kuasa bagai sebuah batu api. Ia mengandung api tersembunyi yang
terpijar oleh musik dan harmoni serta menawarkan kegairahan bagi orang lain, di
samping dirinya. Harmoni- harmoni ini adalah gema dunia keindahan yang lebih
tinggi, yang kita sebut dunia ruh. Ia mengingatkan manusia akan hubungannya
dengan dunia tersebut, dan membangkitkan emosi yang sedemikian dalam dan asing
dalam dirinya, sehingga ia sendiri tak berdaya untuk menerangkannya.
Pengaruh musik dan tarian
amat dalam, menyalakan cinta yang telah tidur di dalam hati
– cinta yang bersifat keduniaan
dan inderawi, ataupun yang bersifat ketuhanan dan ruhaniah.
Sesuai dengan itu, terjadi
perdebatan di kalangan
ahli teologi mengenai
halal dan haramnya musik dan tarian dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Suatu sekte, Zhahariah, berpendapat
bahwa Allah sama sekali tak dapat dibandingkan dengan manusia, seraya menolak
kemungkinan bahwa manusia bisa benar-benar merasakan cinta kepada Allah. Mereka
berkata bahwa manusia hanya bisa mencinta sesuatu yang termasuk dalam
spesiesnya. Jia ia “benar-benar” merasakan sesuatu yang ia pikir
sebagai cinta kepada Sang Khalik, kata mereka hal itu tak lebih daripada
sekadar proyeksi belaka,
atau bayang-bayang yang diciptakan oleh khayalannya, atau suatu pantulan cinta kepada sesama
mahluk. Musik dan tarian, menurut mereka, hanya berurusan dengan cinta kepada
makhluk, dan karenanya haram dala mkegiatan
keagamaan. Jika kita tanya mereka,
apakah arti “cinta kepada Allah” yang
diperintahkan oleh syariat, mereka menjawab bahwa hal itu berarti ketaatan dan
ibadah. Kesalahan ini akan kita sanggah pada bab yang akan membahas kecintaan kepada Allah. Saat ini, baiklah
kita puaskan diri kita dengan berkata
bahwa musik dan tari tidak memberikan sesuatu
yang sebelumnya tidak ada di dalam hati, tapi hanyalah membangunkan
emosi yang tertidur. Oleh karena itu, menyimpan cinta kepada Allah di dalam
hati yan gdiperintahkan oleh syariat itu sama sekali dibolehkan. Malah ikut
serta dala mkegiatan-kegiatan yang
memperbesarnya patut dipuji.
Di pihak lain,
jika hatinya penuh dengan nafsu inderawi, musik dan tarian hanya akan menambahnya; karena itu, terlarang
baginya. Sementara itu, jika mendengarkan
musik hanyalah sebagai hiburan belaka, maka hukumnya mubah. Karena, sekadar
kenyataan bahwa musik itu menyenangkan tidak lantas membuatnya haram,
sebagaimana mendengarkan seekor burung berbunyi; atau melihat rumput
hijau dan air mengalir tidak
diharamkan. Watak tak-berdosa
dari musik dan tarian yang diperlakukan sekadar sebagai hiburan, juga
dibenarkan oleh hadis shahih yang kita terima dari Siti Aisyah yang meriwayatkan:
Pada suatu hari raya, beberapa orang
Habsyi menari di masjid. Nabi berkata
kepadaku, “Inginkah engkau melihatnya?” Aku jawab, “Ya”.
Lantas aku diangkatnya dengan tangannya sendiri yang dirahmati, dan aku menikmati



pertunjukan itu sedemikian
lama, sehingga lebih dari sekali beilau berkata, “Belum cukupkah?”
Hadis lain dari Siti Aisyah adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari raya, dua orang
gadis datang ke rumahku dan mulai bernyanyi
dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil
memalingkan mukanya. Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan, melihat gadis-gadis
itu bermain, dia berseru: “Hah! Seruling setan di rumah Nabi!” Nabi
menoleh karenanya dan berkata: “Biarkan mereka, Abu Bakar,
hari ini adalah
hari raya.”
Terlepas dari kasus-kasus yang
melibatkan musik dan tarian yang membangunkan nafsu-nafsu setan yang telah
tidur di dalam hati, kita dapati adanya kasus-kasus yang menunjukkan mereka
sama sekali halah.
Misalnya nyanyian orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji yang
merayakan keagungan Baitullah di Makkah, yang dengan demikian
mendorong orang lain untuk pergi haji; dan musik yang
membangkitkan semangat perang di dara para pendengarnya dan memberikan mereka
semangat untuk memerangi orang-orang kafir. Demikian pula, musik-musik sendu
yang membangkitkan kesedihan karena telah berbuat dosa dan kegagalan dalam
kehidupan keagamaan juga diperbolehkan: seperti misalnya musik Nabi Daud,
nyanyian penguburan yang
menambah kesedihan karena kematian tidak diperbolehkan, karena tertulis dalam
al-Qur’an: “Jangan bersedih atas apa yang hilang darimu.” Di pihak
lain, musik-musik gembira di pesta-pesta, seperti
perkawinan dan khitanan atau kembali dari perjalanan, hukumnya halal.
Sekarang kita sampai pada
penggunaan musik dan tarian yang sepenuhnya bersifat keagamaan. Para sufi
memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yan glebih besar kepada Allah
dalam diri mereka, dean dengannya mereka seringkali mendapatkan penglihatan dan
kegairanan ruhani. Dalam keadaan ini hati mereka menjadi sebersih perak yan
gdibakar dalam tungku, dan mencapai suatu tingkat kesucian
yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin, walau seberat apapun.
Para sufi itu kemudian menjadi sedemikian sadar akan hubungannya dengan dunia ruhani,
sehingga mereka kehilangan
segenap perhatiannya akan dunia ini dan kerapkali kehilangan kesadaran inderawinya.
Meskipun demikian, para calon
sufi dilarang ikut ambil bagian dalam tarian mistik ini tanpa bantuan
pir (syaikh atau guru ruhani)nya. Diriwayatkan bahwa
Syaikh Abul-Qasim Jirjani,
ketika salah seorang
muridnya meminta izin untuk
ambil bagian dalam tarian semacam itu, berkata: “Jalani puasa yang ketat
selama tiga hari, kemudian suruh mereka memasak
makanan-makanan yang
menggiurkan. Jika kemudian
engkau masih lebih menyukai tarian
itu, engkau boleh ikut.”
Bagaimanapun juga, seorang murid yang hatinya belum seluruhnya tersucikan dari nafsu-nafsu duniawi – meskipun
mungkin telah mendapat penglihatan sepintas akan jalur tasawwuf – mesti
dilarang oleh syaikhnya untuk ambil bagian dalam
tarian-tarian semacam itu, karena hal itu
hanya akan lebih banyak mendatangkan mudharat daripada mashlahatnya.



Orang-orang yang menolak
hakikat ekstase (kegairahan) dan pengalaman- pengalaman ruhani para sufi,
sebenarnya hanya mengakui kesempitan pikiran
dan kedangkalan wawasan
mereka saja. Meskipun
demikian, mereka haruslah dimaafkan, karena mempercayai hakikat
suatu keadaan yang belum
dialami secara pribadi adalah sama sulitnya dengan memahami kenikmatan menatap rumput
hijau dan air mengalir bagi seorang buta, atau bagi seorang
anak untuk mengerti kenikmatan melaksanakan pemerintahan. Karenanya seorang
bijak, meskipun ia sendiri mungkin tidak mempunyai pengalaman tentang keadaan-keadaan tersebut, tak akan menyangkal hakikatnya. Sebab, kesalahan apa lagi yang lebih
besar daripada orang
yang menyangkal hakikat sesuatu hanya karena ia sendiri belum
mengalaminya! Mengenai orang-orang ini, tertulis dalam
al-Qur’an: “Orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk akan berkata, ‘Ini
adalah kemunafikan yang nyata’.”
Sedang mengenai puisi erotis
yang dibaca pada pertemuan-pertemuan para sufi – yang banyak orang merasa
keberatan terhadapnya – mesti kita ingat bahwa jika dalam puisi seperti ini
disebut-sebut tentang pemisahan dari atau
persekutuan dengan yang dicintai, maka para sufi – yang amat cinta pada Allah – menggunakan ungkapan semacam itu
untuk menjelaskan pemisahan dan persekutuan dengan Dia. Demikian
pula, “jalan-jalan buntuk
yang gelap” dipakai
untuk menjelaskan kegelapan kekafiran; “kecerahan wajah” untuk cahaya
keimanan; dan “mabuk” sebagai ekstase (kegairanan) sang sufi. Ambil sebagai misal, bait dari sebuah
puisi berikut ini:
Mungkin sudah kuatur anggur beribu takaran
Tapi, sampai ‘kau
habis mereguknya tiada
kegembiraan kaurasakan
Dengan itu penulisnya bermaksud
untuk mengatakan bahwa kenikmatan agama yang sejati taka akan bisa diraih lewat
perintah resmi, tapi dengan rasa tertarik
dan keinginan. Seseorang boleh jadi telah banyak berbicara dan menulis tentang cinta,
keimanan, ketakwaan dan sebagainya, tapi sebelum ia sendiri memiliki sifat-sifat ini,
semuanya itu tak bermanfaat baginya. Jadi, orang-orang yang mencari-cari
kesalahan para sufi, karena sufi-sufi tersebut
sangat terpengaruh bahkan sampai
mencapai ekstase oleh bait-bait seperti itu, hanyalah orang-orang dangkal dan tak toleran.
Onta sekalipun kadang- kadang terpengaruh oleh lagu-lagu Arab yang dinyanyikan
penunggangnya sehingga ia akan berlari kencang, memikul beban berat, sampai
akhirnya tersungkur kelelahan.
Meskipun demikian, orang-orang
yang mendengar syair pada sufi berada dalam
bahaya dikutuk, jika ia menerapkan syair-syair yang didengarnya itu untuk
Allah. Misalnya, ketika ia dengar syair seperti “Engkau berubah dari
kecenderungan-semulamu”, ia tak boleh menerapkannya untuk Allah – yang tak
boleh berubah – melainkan untuk dirinya dan ragam suasana hatinya sendiri.
Allah bagaikan mentari yang selalu bersinar, tetapi bagi kita kadang- kadang
cahaya-Nya terhalang oleh beberapa obyek yang ada di antara kita dan Dia.



Diriwayatkan bahwa
beberapa ahli mencapai
tingkat ekstase sedemikian rupa sehingga diri mereka hilang dalam Allah. Demikian halnya
dengan Syaikh Abul-Hasan Nuri yang ketika
mendengar seuntai syair tertentu, terjatuh
dalam keadaan ekstase dan menerobos ke dalam ladang yan gpenuh dengan
batang-batang tebu yang baru dipotong, berlari kian-kemari sampai kakinya
berdarah penuh luka dan akhirnya mati tak lama sesudah itu. Dalam kasus- kasus semacam
itu, beberapa orang berpendapat bahwa Tuhan telah
benar- benar turun ke dalam manusia, tapi ini adalah kesalahan yang sama
besar dengan yang dilakukan oleh seseorang yang ketika pertama kali melihat
bayangannya di cermin, berpendapat bahwa ia telah tersatukan dengan cermin itu,
atau bahwa warna-warni merah-putih yang dipantulkan oleh cermin adalah
sifat-sifat bawaan cermin itu.
Keadaan-keadaan ekstase yang
dialami para sufi beragam, sesuai dengan emosi-emosi yang dominan di dalamnya,
yakni cinta, ketakutan, nafsu, tobat
dan sebagainya. Keadaan-keadaan ini, sebagaimana kita sebut di atas, dicapai
seringkali tidak hanya sebagai hasil mendengarkan ayat-ayat al- Qur’an, tetapi
juga syair yang merangsang. Sementara orang keberatan terhadap pembacaan syair,
sebagaimana juga al-Qur’an, pada kesempatan- kesempatan seperti itu. Tapi mesti diingat
bahwa tidak seluruh
ayat al-Qur’an dimaksudkan untuk membangkitkan emosi
seperti misalnya, perintah bahwa
seorang laki-laki mesti mewariskan seperenam hartanya untuk ibunya dan sebagainya
untuk saudara perempuannya, atau bahwa seorang wanita yang ditinggal mati suaminya mesti menunggu empat bulan sebelum
boleh menikah lagi dengan orang lain. Sangat sedikit
orang dan hanya yang sangat peka sajalah yang bisa tercebur ke dalam ekstase
keagamaan oleh ayat-ayat seperti itu.
Alasan lain yang membenarkan
penggunaan syair, juga ayat-ayat al-Qur’an, dalam kesempatan-kesempatan seperti
ini adalah bahwa orang-orang telah sedemikian akrab dengan al-Qur’an, banyak di
antaranya bahkan telah menghafalnya, sehingga pengaruh pembacannya telah
sedemikian ditumpulkan oleh perulangan yang berkali-kali. Seseorang tidak bisa
selalu mengutip ayat-ayat al-Qur’an
baru sebagaimana yang bisa dilakukan
dengan syair. Suatu kali ketika beberapa orang Arab Badul mendengarkan
al-Qur’an untuk pertama kalinya dan menjadi sangat tergerak olehnya, Abu Bakar
berkata kepada mereka,
“Kami dulu pernah seperti kamu,
tetapi sekarang hati kami telah mengeras,” berarti
bahwa al-Qur’an telah kehilangan sebagian pengaruhnya atas orang-orang yang
akrab dengannya. Dengan alasan yang
sama, Khalifah Umar biasa memerintahkan para peziarah haji ke Makkah agar segera meninggalkan tempat itu
secepatnya. “Karena,” katanya, “saya khawatir, jika kalian
menjadi terlalu akrab dengan Kota Suci itu, ketakjuban kalian terhadapnya akan
sirna dari hati-hati kalian.”
Ada pula penggunaan nyanyian
dan peralatan musik – sepreti seruling dan genderang – secara tak berbobot dan
sembrono, paling tidak di mata masyarakat awam. Keagungan al-Qur’an tak pantas,
meskipun sementara, dikaitkan dengan hal-hal seperti ini. Diriwayatkan bahwa
sekali waktu Nabi saw. memasuki rumah Rai’ah putri Mu’adz. Beberapa orang
gadis-penyanyi yang ada di sana secara tiba-tiba mulai mengalunkan nyanyiannya
untuk



menghormati beliau. Beliau
dengan segera meminta mereka untuk berhenti, karena puji-pujian bagi Nabi
adalah tema yang terlalu sakral untuk diperlakukan demikian. Akan timbul pula
bahaya jika ayat-ayat al-Qur’an dipergunakan secara khusus, sehingga
pendengar-pendengarnya akan mengaitkannya dengan penafsiran mereka sendiri, dan
hal ini terlarang. Di pihak lain, tak ada bahaya yang mungkin timbul dalam
menafsirkan baris- baris syair dengan
berbagai cara, karena memang makna yang diberikan seseorang atas suatu syair tak harus sama dengan yang diberikan
oleh penulisnya.
Bentuk lain dari tarian-tarian
mistik ini adalah dengan melukai diri sendiri
sembari mengoyak-ngoyakkan pakaian. Jika hal ini adalah hasil dari suatu
keadaan ekstase murni, maka tak ada sesuatu yang bisa dikatakan untuk menentangnya. Tapi jika hal ini dilakukan oleh orang-orang yang sok disebut “ahli”, maka hal ini adalah suatu kemunafikan belaka.
Dalam setiap hal, orang
yang paling ahli adalah yang mampu mengendalikan dirinya, hingga ia benar-
benar berasa wajib untuk memberikan penyaluran kepada perasaan- perasannya. Diriwayatkan bahwa seorang
murid Syaikh Juaid, ketika mendengar sebuah nyanyian pada suatu pertemuan para
sufi, tak bisa menahan diri sehingga mulai memekik dalam keadaan ekstase.
Junaid berkata kepadanya: “Jika kaulakukan hal itu sekali lagi, jangan
tinggal bersamaku lagi.” Setelah kejadian itu, sang anak muda berusaha
untuk menahan dirinya. Tapi pada akhirnya pada suatu hari emosinya sedemikian
kuat terbangkitkan sehingga, setelah sedemikan lama dan sedemikian kuat
tertekan, ia melontarkan pekikan dan kemudian
mati.
Kesimpulannya, dalam
menyelenggarakan pertemuan-pertemuan semacam itu, perhatian mesti diberikan kepada tempat dan waktu, dan bahwa tidak ada
pemirsa dengan niat yang tak patut ikut hadir di dalamnya. Orang-orang yang ikut serta di dalamnya mesti duduk berdiam diri, tidak
saling melihat, menundukkan kepala sebagaimana dalam
shalat dan memusatkan pikiran mereka kepada Allah. Setiap orang
mesti waspada terhadap segala sesuatu yang mungkin terilhamkan ke dalam
hatinya, dan tidak melakukan gerakan- gerakan apa pun yang bersumber dari
rangsangan sadar-diri belaka. Tetapi jika ada seseorang di antara mereka yang
bangkit dalam keadaan ekstase murni, maka segenap orang yang hadir mesti
bangkit pula bersamanya, dan jika ada sorban seseorang yang tanggal, maka orang
lain pun mesti meletakkan sorbannya.
Meskipun hal ini merupakan hal baru dalam Islam dan tidak diterima
dari para sahabat, mesti kita
ingat bahwa tidak semua hal itu terlarang, melainkan hanya yang secara langsung
bertentangan dengan syariat. Misalnya, shalat Tarawih. Shalat ini dilembagakan pertama kali oleh Khalifah Umar. Nabi saw. bersabda: “Hiduplah dengan
setiap orang sesuai dengan kebiasaan dan wataknya.” Oleh karena itu, kita
dibenarkan untuk mengerjakan hal-hal tertentu demi menyenangkan orang, jika
sikap tidak-berkompromi akan menyakitkan hati mereka. Memang benar bahwa para
sahabat tidak mempunyai kebiasaan untuk berdiri ketika Nabi saw. masuk, karena
mereka tidak menyukai praktek ini; tetapi di daerah-daerah yang mempunyai
kebiasaan seperti ini, dan tidak melakukannya akan bisa menimbulkan rasa



tidak senang, lebih baik
berkompromi dengannya. Orang-orang Arab punya kebiasaan sendiri, orang-orang
Persia pun demikian, dan Allah tahu mana yang paling baik.



BAB 6    : Pemeriksaan Diri dan Dzikir Kepada Allah

Ketahuilah wahai saudaraku,
bahwa di dalam al-Qur’an Tuhan telah berfirman, “Akan Kami pasang satu
timbangan yang adil di Hari Perhitungan dan tak akan ada jiwa yang dianiaya
dalam segala hal. Siapa pun yang telah
menempa satu butir kebaikan atau maksiat, kelak pada hari itu akan
melihatnya.” Di dalam al-Qur’an juga tertulis, “Setiap jiwa akan
melihat apa yang diperbuat sebelumnya pada Hari Perhitungan.” Khalifah
Umar pernah berkata, “Tuntutlah pertanggungjawaban dari dirimu sebelum dituntut
pertanggungjawabanmu.” Dan Tuhan berfirman, “Wahai kaum mukminin, bersabar dan berjuanglah melawan
nafsu-nafsumu dan kemudian beristiqamahlah.” Semua wali paham bahwa mereka
datang ke dunia ini untuk menyelenggarakan suatu lalu-lintas ruhaniah.
Perolehan ataupun kerugian yang menjadi akibatnya adalah surga atau neraka.
Oleh karena itu, mereka selalu
menatap dengan pandangan waspada kepada badan mereka yang berkhianat, bisa menyebabkan mereka
menderita kerugian besar.
Oleh karena itu, hanya orang-orang bijaksana sajalah yang setelah shalat subuhnya menghabiskan satu jam penuh untuk
mengadakan perhitungan ruhaniah dan berkata kepada jiwanya, “Wahai jiwaku,
engkau hanya mempunyai satu hidup.
Tidak satu pun saat yang telah lewat bisa dikembalikan, karena dalam
perbendaharaan Allah jumlah nafas bagianmu sudah tertentu dan tidak bisa ditambah. Ketika kehidupan telah
berakhir, tidak ada lagi lalu-lintas ruhaniah
yang mungkin kau peroleh. Karena
itu, apa yang bisa kau kerjakan, kerjakanlah
sekarang. Perlakuan hari ini sedemikian rupa seakan-akan hidupmu telah kau
habiskan sama sekali dan bahwa hari ini adalah hari tambahan yang dianugerahkan
kepadamu oleh rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Kekeliruan apa lagi yang lebih
besar daripada menyia- nyiakannya?”
Pada Hari Kebangkitan seseorang akan mendapati seluruh
jam-jam hidupnya terjajar
seperti satu deret lemari perbendaharaan. Pintu salah satu lemari itu akan terbuka
dan akan tampak
penuh dengan cahaya.
Hal itu mencerminkan saat yang dihabiskan untuk melakukan kebaikan.
Hatinya akan dipenuhi dengan kegembiraan sedemikian besar sehingga sebagian
daripadanya saja sudah akan
membuat penghuni neraka melupakan api itu. Pintu lemari yang kedua akan
terbuka; di dalamnya gelap pekat dan dari dalamnya terpancar bau tidak enak,
yang menyebabkan setiap orang menutup hidungnya. Itu mencerminkan saat-saat
yang dihabiskan untuk berbuat maksiat. Ia akan merasakan takut yang sedemikian besar sehingga sebagian
daripadanya saja sudah akan
segera membuat penghuni surga gelisah dan memohon rahmat. Pintu lemari yang ketiga pun terbuka; di dalamnya
tampak kosong, tak ada cahaya tidak pula gelap. Ini mencerminkan saat-saat
yang tidak dipakai
untuk melakukan kebaikan maupun maksiat. Waktu itu ia akan merasa sangat
menyesal dan bingung laksana seorang yang memiliki harta banyak, tapi
menyia-nyiakannya atau membiarkannya
lepas begitu  saja dari genggamannya.
Jadi, seluruh rangkaian saat-saat hidupnya akan dipertunjukkan satu demi satu
di depan matanya. Lantaran itu, seseorang mesti berkata kepada jiwanya
setiap pagi: “Allah telah memberimu khazanah



dua puluh empat jam.
Berhati-hatilah agar engkau tidak kehilangan satu pun di antaranya, karena
engkau tidak akan mampu menahan penyesalan yang akan mengikuti kerugian seperti
itu.”
Para wali telah berkata,
“Sekalipun, misalnya, Allah akan mengampuni anda yang menyia-nyiakan
kehidupan, anda tidak akan bisa mencapai tingkatan orang-orang saleh dan mesti akan menyesali
kerugian anda. Oleh karena itu, awasilah dengan ketat lidah anda,
mata anda dan segenap anggota rubuh anda, karena masing-masing daripadanya
mungkin menjadi pintu gerbang menuju neraka. Ucapkanlah pada badan anda, ‘Jika
engkau memberontak, sesungguhnya aku akan menghukummu’ karena meskipun badan
itu keras kepala, ia mampu menerima perintah dan bisa dijinakkan dengan
keprihatinan.” Itulah tujuan pemeriksaan diri, dan Nabi saw. telah
berkata, “Kebahagiaan itu bagi orang yang sekarang mengerjakan amal-amal yang
akan memberikan keuntungan baginya setelah mati.”
Sekarang sampailah kita pada
dzikrullah yang berarti ingatnya seseorang bahwa Allah mengamati seluruh
tindakan dan pikirannya. Orang-orang hanya
melihat penampilan luar, sementara Allah melihat keduanya; yang di luar maupun
yang di dalam diri manusia. Orang yang benar-benar mempercayai hal ini akan mampu mendisiplinkan wujud-luar maupun wujud-dalamnya. Jika ia menyangkal hal ini, maka ia adalah
seorang kafir; dan jika sementara mempercayainya dia bertindak bertentangan
dengan kepercayaannya itu, maka dia telah melakukan kesalahan berupa bersikap
angkuh yang paling parah.
Suatu hari seorang Habsy datang
kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah melakukan
banyak dosa. Mungkinkah tobat saya bisa diterima?” Nabi menjawab,
“Ya.” Kemudian sang Habsy berkata, “Wahai Rasulullah, setiap
saya melakukan dosa, adakah Tuhan benar-benar
melihatnya?” “Ya,” jawab beliau. Sang Habsy pun
melontarkan pekikan dan kemudian jatuh tak sadar. Sebelum seseorang benar-benar
yakin akan kenyataan bahwa ia selalu berada di dalam
pengamatan Allah, tidak mungkin
ia bertindak di jalan yang benar.
Seorang Syaikh suatu kali
mempunyai seorang murid yang ia sayangi lebih dari yang lain, sehingga
membangkitkan rasa iri mereka. Suatu hari sang
Syaikh memberi masing-masing muridnya seekor unggas
dan memerintahkan mereka
untuk pergi dan membunuhnya di suatu tempat yang tak ada yang bisa melihat.
Sesuai dengan itu, setiap muridnya membunuh unggasnya di tempat yang
tersembunyi dan membawanya kembali, kecuali murid Syaikh yang paling
disayanginya itu. Ia membawa kembali
unggas itu dalam
keadaan hidup seraya berkata, “Saya tak bisa menemukan tempat
seperti itu, karena Allah selalu melihatku di mana-mana.” Sang Syaikh pun
berkata kepada muridnya yang lain, “Sekarang kamu tahu tingkatan anak muda
ini. Ia telah mencapai tingkat selalu mengingati Allah.”
Ketika Zulaikha menggoda Yusuf,
ia menutupkan kain ke atas wajah berhala
yang biasa disembanya. Yusuf berkata
kepadanya, “Wahai Zulaikha, engaku malu di hadapan
seonggokan batu, maka tidakkah aku mesti malu di hadapan



Dia yang menciptakan tujuh
langit dan bumi.” Satu kali seseorang datang kepada Wali Junaid dan berkata, “Saya tidak bisa menahan
pandangan mata saya dari
melihat hal-hal yang menggairahkan. Apa yang mesti saya perbuat?” Jawab
Junaid, “Dengan mengingat bahwa Allah melihatmu jauh lebih jelas daripada
kamu melihat orang lain.” Di dalam hadits qudsi tertulis bahwa Allah
berfirman, “surga itu
bagi orang-orang yang
sempat berkeinginan untuk
mengerjakan dosa tapi kemudian ingat bahwa mataKu ada di atas mereka dan
kemudian mereka menahan diri.”
Abdullah bin Dinar
meriwayatkan, bahwa suatu kali ia berjalan bersama Khalifah Umar di dekat
Makkah ketika bertemu seorang anak laki-laki penggembala sedang menggembalakan
sekawanan domba. Umar berkata kepadanya, “Juallah seekor domba
padaku.” Anak laki-laki itu menjawab, “Domba-domba ini bukan milikku,
tapi milik tuanku.” Kemudian untuk mengujinya, Umar berkata, “Engkau
kan bisa berkata kepadanya bahwa seekor srigala telah menyambar salah satu di
antaranya, dan dia tidak akan tahu apa-apa mengenai hal itu?” “Tidak,
memang dia tak akan tahu,” kata anak itu, “tapi Allah akan
mengetahuinya.” Umar pun menangis dan mendatangi
majikan anak laki-laki itu untuk membelinya dan kemudian membebaskannya sambil
berkata, “Ucapanmu itu telah membuatmu bebas di dunia ini
akan akan membuatmu bebas pula di akhirat.”
Ada dua tingkatan DZIKRULLAH ini.
Tingkatan PERTAMA adalah
tingkatan para wali yang pikiran-pikirannya seluruhnya
terserap dalam perenungan dan keagungan Allah, dan sama sekali tidak menyisakan
lagi ruang di hati mereka untuk hal-hal lain. Inilah tingkatan zikir, yang lebih rendah,
karena ketika hati manusia sudah tetap dan anggota-anggota tubuhnya sedemikian
terkendalikan oleh hatinya sehingga mereka menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang sebenarnya halal, maka
ia sama sekali tak lagi butuh akan alat ataupun penjaga terhadap dosa- dosanya.
Terhadap zikir seperti
inilah Nabi saw. berkata, “Orang yang bangun dipagi
hari hanya dnegan Allah di dalam pikirannya maka Allah akan menjaganya di dunia
ini maupun di akhirat.”
Beberapa di antara penzikir ini
sampai sedemikian larut dalam ingatan akan Dia, sehingga, mereka tidak
mendengarkan orang yang bercakap dengan mereka,
tidak melihat orang berjalan di depan mereka, tetapi terhuyung- huyung
seakan-akan melanggar dinding. Seorang wali meriwayatkan bahwa suatu hari ia
melewati tempat para pemanah sedang mengadakan perlombaan memanah.
Agak jauh dari situ, seseorang duduk sendirian. “Saya mendekatinya dan mencoba
mengajaknya berbicara, tetapi dia menjawab, ‘Mengingat Allah lebih baik daripada bercakap.’ Saya berkata, ‘Tidakkah anda kesepian?” ‘Tidak,’ jawabnya, ‘Allah dan dua malaikat
bersama saya.’ Sembari menunjuk kepada para pemanah saya bertanya, ‘Mana di
antara mereka yang telah berhasil
menggondol gelar juara?’ ‘Orang yang telah ditakdirkan Allah untuk menggondolnya,’ jawabnya. Kemudian saya bertanya,
‘Jalan ini datang dari mana?” Terhadap pertanyaan ini dia mengarahkan
matanya ke langit, kemudian bangkit dan pergi seraya berkata, “Ya Rabbi,
banyak mahlukMu menghalang-halangi orang dari mengingatMu.’



Wali Syibli suatu hari pergi
mengunjungi sufi Tsauri. Didapatinya Tsauri sedang duduk tafakur sedemikian
tenang sehingga tidak satu pun rambut di tubuhnya bergerak. Syibli pun bertanya
kepadanya, “Dari siapa anda belajar mempraktekkan ketenangan tafakur seperti
itu?” Tsauri menjawab, “Dari seekor
kucing yang saya lihat menunggu
di depan lobang tikus dengan
sikap yang bahkan jauh lebih tenang
daripada yang saya lakukan.”
Ibnu Hanif meriwayatkan,
“Kepada saya diberitakan bahwa di kota Sur seorang syaikh dengan seorang
muridnya selalu duduk dan larut di dalam dzikrullah. Saya berangkat ke sana dan
mendapati mereka berdua duduk dengan
wajah menghadap ke Makkah. Saya mengucapkan salam kepada mereka tiga kali, tapi
mereka tidak menjawab. Saya berkata, “Saya meminta dengan sangat, demi
Allah, agar anda menjawab salam saya.” Yang lebih muda mengangkat
kepalanya dan menjawab, “Wahai Ibnu Hanif, dunia ini hanya ada untuk waktu
yang singkat saja. Dan dari waktu yang singkat itu hanya sedikit yang masih
tersisa. Anda telah menghalang-halangi kami dengan menuntut agar kami membalas
salam anda.” Ia kemudian menundukkan kepalanya kembali
dan diam. Saya waktu itu merasa lapar
dan haus, tetapi keingintahuan akan kedua orang itu membuat saya seakan
lupa diri. Saya bersembahyang ‘Ashar dan Maghrib bersama mereka, kemudian
meminta mereka memberi nasehat-nasehat ruhaniah.
Yang muda menjawab, “Wahai Ibnu Hanif, kami
ini orang sengsara, kami tidak memiliki lidah untuk memberikan nasehat.”
Saya tetap berdiri di sana tiga hari tiga malam. Tidak satu patah kata pun
terlontar dari kami dan tak seorang pun tidur. Kemudian saya berkata dalam
hati, “Saya minta mereka dengan sangat, demi Allah, untuk memberi saya beberapa nasehat.” Yang muda mengkasyaf
pikiran saya, kemudian sekali lagi
mengangkat kepalanya, “Pergi dan carilah seseorang yang dengan
mengunjunginya akan membuat anda mengingati Allah, dan menanamkan rasa takut
akan Dia di dalam hati anda, dan yang akan memberi anda nasehat melalui
diamnya, bukan lewat cakapnya.”
Itu semua adalah zikir para
wali, yaitu berada dalam keadan terserap keseluruhan dalam perenungan akan
Allah.
Tingkatan KEDUA dari dzikrullah
adalah zikir “golongan kanan” (ashabul- Yamin). Orang-orang ini sadar bahwa Allah mengetahui segala
sesuatu tentang mereka dan merasa malu dalam kehadiranNya. Meskipun demikian,
mereka tidak larut dalam pikiran tentang keagungan-keagunganNya, melainkan
tetap sepenuhnya sadar diri. Keadaan mereka seperti seseorang yang tiba-tiba
terperangah di dalam keadaan telanjang dan dengan terburu- buru menutupi
dirinya. Kelompok tingkatan pertama tadi menyerupai seseorang yang tiba-tiba
mendapati dirinya di hadapan seorang raja dan merasa bingung serta kaget.
Kelompok tingkatan kedua menyelidiki dengan teliti semua hal yang terlintas
dalam pikiran mereka, karena pada hari akhir tiga pertanyaan akan ditanyakan
berkenaan dengan setiap tindakan: kenapa
engkau melakukannya?; bagaimana kamu melakukannya; apa tujuanmu melakukannya?
Yang pertama ditanyakan karena seorang semestinya bertindak berdasarkan
dorongan (impuls) Ilahiah dan bukan dorongan setan atau badaniah belaka. Jika
pertanyaan ini dijawab dengan baik, maka pertanyaan kedua akan menguji tentang
bagaimana pekerjaan itu dilakukan



secara bijaksana atau ceroboh
dan lalai. Dan yang ketiga, pekerjaan itu dilakukan hanya demi mencari
ridha Tuhan ataukah
demi memperoleh pujian manusia. Jika seseorang memahami
arti pertanyaan-pertanyaan ini, ia akan menjadi sangat awas terhadap kadaan
hatinya dan terhadap bagaimana ia berpikiran sebelum akhirnya bertindak.
Memperbedakan pikiran-pikiran itu adalah hal yang
sulit dan musykil
dan orang yang tidak mampu
melakukannya mesti mengaitkan dirinya
pada seorang pengarah ruhani yang bisa
menerangi hatinya. Ia mesti benar-benar menghindar dari orang-orang
terpelajar yang sepenuhnya bersikap duniawi.
Mereka itu agen setan. Allah
berfirman kepada Daud a.s. “Wahai Daud, jangan bertanya
tentang orang-orang terpelajar yang teracuni oleh cinta dunia, karena ia akan merampok
kecintaanKu darimu.” Dan Nabi saw. bersabda, “Allah mencintai orang yang cermat dalam meneliti
soal-soal yang meragukan dan yang tidak membiarkan akalnya dikuasai oleh nafsunya.” Nalar dan pembedaan
berkaitan erat, dan orang yang di dalam dirinya nalar tidak mengendalikan nafsu
tidak akan cermat melakukan penyelidikan.
Di samping beberapa peringatan
tentang penelitian sebelum bertindak, seseorang juga mesti dengan ketat
menuntut pertanggungjawaban dirinya atas tindakan-tindakan masa lampaunya.
Setiap malam ia mesti memeriksa hatinya berkenaan dengan apa yang telah ia
kerjakan., demi melihat telah beruntung ataukah merugi ia dalam modal
ruhaninya. Inilah yang lebih penting, karena hati itu seperti
rekanan dagang yang khianat yang selalu siap untuk menipu dan mengelabui.
Kadang-kadang ia menampakkan perasaan mementingkan-diri-sendirinya dalam bentuk
ketaatan kepada Allah sedemikian rupa, sehingga seseorang menyangka bahwa ia
telah beruntung padahal sebenarnya
ia merugi.
Seorang wali bernama Amiya,
berumur enam puluh tahun, menghitung hari- hari dalam hidupnya dan ia dapati
bahwa hari-harinya itu berjumlah 21.600 hari.
Ia berkata kepada
dirinya sendiri, “Celaka aku, sekiranya aku melakukan
satu dosa saja setiap harinya, bagaimana aku bisa melarikan diri dari timbunan
21.600 dosa?” Ia pun memekik dan rubuh ke tanah. Ketika orang- orang datang
untuk membangunkannya, mereka dapati ia telah mati.
Tetapi sebagian besar manusia
bersifat lalai dan tidak pernah berfikir untuk meminta pertanggungjawaban
dirinya sendiri. Jika bagi setiap dosa yang dilakukannya, seseorang menempatkan
sebutir batu di dalam sebuah rumah
kosong, segera saja akan ia dapati rumah itu penuh dengan batu. Jika  malaikat pencatat menuntut upah darinya bagi
pekerjaan menuliskan dosa- dosanya, maka semua uangnya akan cepat sirna. Orang
menghitung biji tasbih dengan rasa puas diri setiap kali mereka selesai
menyebut nama Allah, tetapi mereka tidak mempunyai
tasbih untuk menghitung kata-kata sia-sia yang tak terbilang banyaknya yang
telah mereka ucapkan. Oleh karena itu, Khalifah Umar berkata, “Timbang
benar-benar kata-kata dan tindakan- tindakanmu
sebelum semuanya itu ditimbang pada saat pengadilan nanti.” Ia
sendiri sebelum beristirahat pada setiap malamnya biasa memukul kakinya dengan
disertai rasa ngeri kemudian berseru, “Apa yang telah kau lakukan hari
ini?” Abu Thalhah suatu kali shalat di sebuah kebun korma ketika menampak seekor
burung indah yang
melintas menyebabkannya salah
hitung



jumlah sujud yang telah
dilakukannya. Untuk menghukum dirinya karena
kelalaiannya ini, ia memberikan kebun kormanya kepada
orang lain. Wali-wali seperti itu tahu bahwa sifat
inderawi mereka cenderung untuk tersesat. Oleh karena itu mereka mengawasi
dengan ketat dan menghukumnya untuk setiap
kesalahan yang dilakukannya.
Jika seseorang mendapati
dirinya bebal dan menolak sikap cermat dan disiplin diri, ia mesti selalu
bersama-sama dengan seseorang yang cakap dalam
praktek-praktek seperti itu agar ia tertulari entusiasme sang ahli tersebut.
Seorang wali biasa berkata, “Jika saya ogah-ogahan dalam melakukan
disiplin diri, saya menatap Muhammad ibn Wasi, dan memandangnya saja sudah akan menyalakan kembali
semangat saya, paling tidak untuk seminggu.” Jika
seorang tidak bisa menemukan teladan sikap cermat
seperti itu di sekitarnya, maka baik baginya utnuk mempelajari kehidupan para
Wali. Ia juga mesti mendorong jiwanya!
“Wahai jiwaku, kau anggap
dirimu cerdas, dan marah jika disebut tolol. Lalu sebetulnya kau ini apa? Kau
persiapkan pakaianmu untuk menutupi dirimu dari gigitan musim dingin, tapi
tidak kaupersiapkan diri untuk akhiratmu. Keadaanmu seperti seseorang yang di
tengah musim dingin berkata, ‘Saya tak akan mengenakan pakaian hangat, tetapi
percaya pada rahmat Tuhan untuk melindungi saya dari dingin.’ Ia lupa bahwa
bersamaan dengan menciptakan dingin, Allah menunjuki manusia cara membuat
pakaian untuk melindungi diri darinya dan menyediakan bahan-bahan untuk pakaian
itu. Ingatlah juga, wahai diri, bahwa hukumanmu di akhirat bukan karena Allah marah pada
ketidaktaatanmu, dan jangan
berpikir: “Bagaimana mungkin
dosa saya mengganggu Allah?” Nafsumu sendirilah yang akan
menyalakan kobaran neraka dalam dirimu. Makanan
tidak sehat yang dimakan seseorang menimbulkan penyakit pada tubuh
orang itu, bukan karena dokter jengkel kepadanya karena melanggar nasehat-nasehatnya.
“Celakalah ‘kau, wahai
diri, karena cintamu yang berlebihan kepada dunia! Jika kau tidak percaya pada
surga dan neraka, bagaimana mungkin kau percaya
pada mati yang akan merenggut semua kenikmatan duniawi dirimu dan menyebabkan
kau menderita oleh perpisahan itu sebanding dengan keterikatanmu pada
kenikmatan duniawi itu. Kenapa kau dicipta setelah dunia? Jika semuanya, dari
timur sampai barat, adalah milikmu dan menyembahmu, toh dalam waktu singkat
semuanya itu akan menjelma menjadi debu bersama dirimu, dan pemusnahan akan
menghapuskan namamu sebagaimana raja-raja sebelummu. Tetapi sekarang, mengingat bahwa kau hanyalah
memiliki sebagian sangat
kecil dari dunia ini dan itu pun bagian yang kotor daripadanya, akankah
kau begitu gila untuk menukar kebahagiaan abadi dengannya, permata yang mahal
dengan sebuah gelas pecah yang terbuat dari lempung dan menjadikan dirimu bahan
tertawaan orang-orang di sekitarmu?”



BAB 7 :  Perkawinan Sebagai Pendorong atau Penghalang

Dalam Kehidupan Keagamaan
Perkawinan memainkan peran yang
besar dalam kehidupan manusia, sehingga ia perlu diperhitungkan dalam membahas
soal kehidupan keagamaan dan dibicarakan dalam dua aspeknya, yaitu keuntungan
dan kerugiannya.
Mengetahui bahwa Allah,
sebagaimana kata al-Qur’an, “Hanya menciptakan manusia dan jin untuk
beribadah,” maka keuntungan yang pertama dan nyata
dalam perkawinan adalah bahwa para penyembah Allah menjadi makin banyak
jumlahnya. Oleh karena itu, para ahli ilmu kalam telah menyusun seuntai
pepatah: lebih baik tersibukkan dalam tugas-tugas perkawinan daripada dalam
ibadah-ibadah sunnah. Keuntungan lain daripada perkawinan adalah sebagaimana disabdakan oleh Nabi: “Doa
anak-anak bermanfaat bagi orang tuanya jika orang tuanya itu
telah meninggal, dan anak-anak yang meninggal
sebelum orang tuanya akan memintakan ampun bagi mereka di Hari Pengadilan.” Sabda Nabi pula:
“Ketika seorang anak diperintahkan untuk masuk surga, dia menangis
dan berkata, “Saya tak akan memasukinya tanpa ayah dan ibu saya.” Juga, suatu hari Nabi dengan
keras menarik lengan
baki seseorang ke arah dirinya sambil bersabda, “Demikianlah
anak-anak akan menarik orang tuanya ke surga.” Beliau menambahkan,
“Anak-anak berkumpul berdesak-desakan di pintu gerbang
surga dan menjerit
memanggil ayah dan ibunya, hingga keduanya yang masih berada di luar
diperintahkan untuk masuk dan bergabung dengan anak-anak mereka.”
Diriwayatkan dari seorang Wali
yang termasyhur bahwa suatu kali ia bermimpi
bahwa Hari Pengadilan telah tiba. Matahari
telah mendekat ke bumi
dan orang-orang mati
karena kehausan. Sekelompok anak-anak berjalan kian kemari memberi mereka air dari cawan-cawan emas dan perak. Tetapi ketika sang Wali meminta air, ia ditolak, dan salah seorang anak itu berkata
kepadanya, “Tidak salah seorang pun di antara kami ini anak-anak
anda.” Segera setelah sang Wali bangun
ia berencana untuk
kawin.
Keuntungan lain dari perkawinan adalah bahwa duduk bersama dan bersikap
baik terhadap istri adalah suatu perbuatan yang memberikan rasa santai kepada
pikiran setelah asyik mengerjakan tugas-tugas keagamaan. Dan setelah santai
seperti itu seseorang bisa kembali beribadah dengan semangat
baru. Demikianlah Nabi saw. sendiri, ketika merasakan beban turunnya wahyu
menekan terlalu berat atasnya, ia menyentuh istrinya Aisyah dan berkata:
“Berbicaralah padaku wahai ‘Aisyah, berbicaralah padaku!”
Dilakukannya hal ini karena dari sentuhan kemanusiaan yang hangat itu bisa
mendapatkan kekuatan untuk menerima wahyu-wahyu baru. Untuk alasan yang sama ia
biasa meminta Bilal untuk mengumandangkan azan dan kadang-kadang ia juga
membaui wawangian yang harum. Salah satu haditsnya yang terkenal adalah:
“Saya mencintai tiga hal di dunia ini: wewangian, wanita dan penyegaran kembali dengan shalat.” Suatu kali Umar bertanya kepada Nabi tentang
hal-hal yang paling penting untuk dicari di



dunia ini. Beliau saw.
menjawab: “Lidah yang selalu berzikir kepada Allah, hati yang penuh rasa
syukur dan istri yang amanat.”
Keuntungan lain dari perkawinan adalah adanya seseorang yang memelihara
rumah, memasak makanan,
mencuci piring, menyapu
lantai dan sebagainya. Jika seoran glaki-laki sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan itu, maka ia tak bisa mencari ilmu, menjalankan
perdagangannya atau melakukan ibadah- ibadahnya dengan sepatutnya. Untuk alasan
ini Abu Sulaiman berkata: “Istri yang baik bukan saja rahmat di dunia ini,
tetapi juga di akhirat, karena ia memberikan waktu senggang kepada suaminya
untuk berpikir tentang akhirat.” Dan salah satu di antara ucapan Khalifah
Umar adalah: “Setelah iman, tidak ada rahmat
yang bisa menyamai
istri yang baik.”
Tambahan lagi, perkawinan masih
memiliki keuntungan yang lain, yaitu bersikap sabar dengan tetek-bengek
kewanitaan – memberikan kebutuhan- kebutuhan istri dan menjaga mereka agar
tetap berada di jalan hukum – adalah suatu bagian yang amat penting dari agama.
Nabi saw. bersabda; “Memberi nafkah kepada istri lebih penting daripada
memberi sedekah.”
Suatu kali, ketika Ibnu Mubarak
sedang berpidato di hadapan orang-orang kafir,
salah seorang sahabatnya bertanya kepadanya: “Adakah pekerjaan lain yang
lebih memberikan ganjaran daripada jihad?” “Ya,” jawabnya,
“Yaitu memberi makan dan pakaian kepada istri dan anak dengan
sepatutnya.” Waliyullah yang termasyhur Bisyr Hafi berkata: “Lebih
baik bagi seseorang untuk bekerja bagi istri dan anak daripada bagi dirinya sendiri.”
Di dalam hadits diriwayatkan bahwa beberapa dosa hanya bisa ditebus dengan
menanggung beban keluarga.
Berkenaan dengan
seorang wali, diriwayatkan bahwa istrinya meninggal dan ia tak bermaksud
kawin lagi meski
orang-orang mendesaknya seraya
berkata bahwa dengan begitu akan lebih mudah baginya untuk memusatkan
diri dan pikirannya di dalam uzlah. Pada suatu malam ia melihat dalam mimpinya pintu
surga terbuka dan sejumlah malaikat
turun, lalu mendekatinya dan salah satu di
antara mereka bertanya: “Inikah orang yang celaka yang egois itu?”
dan rekan-rekannya menjawab: “Ya, inilah dia.” Wali itu sedemikian terperangahnya sehingga
tidak sempat bertanya tentang siapakah yang mereka maksud. Tetapi tiba-tiba
seorang anak laki-laki lewat dan ia pun bertanya kepadanya. “Andalah yang
sedang mereka bicarakan,” jawab sang anak, “baru minggu yang lalu perbuatan-perbuatan baik anda dicatat
di surga bersama dengan
wali-wali yang lain, tetapi sekarang mereka telah menghapuskan nama anda dari
buku catatan itu.” Setelah terjaga dengan pikiran penuh tanda tanya, dia
pun segera membuat rencana untuk kawin. Dari
semua hal di atas, tampak bahwa perkawinan memang diinginkan.
Sekarang akan kita bicarakan
kerugian-kerugian perkawinan. Salah satu di antaranya adalah adanya suatu
bahaya, khususnya di masa sekarang ini, bahwa seorang laki-laki mesti mencari
nafkah dengan sarana-sarana yang haram untuk menghidupi keluarganya, padahal
tidak ada perbuatan- perbuatan baik yang bisa menebus
dosa ini. Nabi saw. bersabda
bahwa pada Hari Kebangkitan akan ada laki-laki yang membawa tumpukan
perbuatan baik



setinggi gunung dan
menempatkannya di dekat Mizan. Kemudian ia
ditanya; “Dengan cara bagaimana engkau menghidupi keluargamu?”
Ia tak bisa memberikan jawaban yang memuaskan, maka semua perbuatan
baiknya pun akan dihapuskan
dan suatu pernyataan akan dikeluarkan berkenaan dengannya: “Inilah orang
yang keluarganya telah menelan semua perbuatan
baiknya!”
Kerugian lain dari perkawinan
adalah bahwa memperlakukan keluarga dengan baik dan sabar dan menyelesaikan
masalah-masalah mereka hanya bisa dilakukan
oleh orang-orang yang memiliki tabiat
baik. Ada bahaya
besar jika seorang laki-laki memperlakukan keluarganya dengan kasar atau
mengabaikan mereka, sehingga
menimbulkan dosa bagi dirinya sendiri.
Nabi saw. bersabda: “Seseorang yang meninggalkan istri dan
anak-anaknya adalah seperti budak yang lari. Sebelum ia kembali kepada mereka,
puasa dan shalatnya tidak akan diterima oleh Allah.” Ringkasnya, manusia memiliki sifat-sifat rendah, dan sebelum
ia bisa mengendalikan sifatnya itu, lebih baik ia tidak memikul tanggungjawab utnuk mengendalikan orang lain. Seseorang bertanya kepada Wali Bisyr Hafi,
kenapa ia tidak kawin. “Saya takut,” ia menjawab, “akan ayat
al-Qur’an: ‘hak-hak wanita atas laki-laki persis sama dengan hak-hak laki-laki
atas wanita’.”
Kerugian ketiga dari perkawinan
adalah bahwa mengurus sebuah keluarga seringkali menghalangi seseorang dari
memusatkan perhatiannya kepada Allah dan akhirat. Dan boleh jadi, kecuali kalau
ia berhati-hati, hal itu akan menyeretnya kepada kehancuran, karena Allah telah
berfirman: “Janganlah istri-istri dan anak-anakmu memalingkanmu dari
mengingat Allah.” Orang yang berpikir, bahwa dengan tidak kawin ia bisa
memusatkan perhatiannya lebih baik pada kewajiban-kewajiban keagamaannya, lebih
baik ia tetap sendirian; dan orang-orang yang takut untuk terjatuh ke dalam
dosa jika ia tidak kawin, lebih baik ia kawin.
Sekarang kita sampai pada
sifat-sifat yang mesti dicari dalam diri seorang istri. Pertama, yang paling
penting di antaranya, adalah kesucian akhlak.
Jika seseorang mempunyai istri yang berakhlak tidak-baik dan ia tetap diam,
ia mendapatkan nama jelek dan terhambat kehidupan keagamaannya. Jika ia angkat
bicara, hidupnya menjadi rusak. Dan bila ia ceraikan istrinya, ia akan
menderita kepedihan perpisahan. Seorang istri yang cantik tapi berakhlak buruk adalah bencana yang sedemikian
besar, sehingga lebih baik bagi suaminya untuk menceraikannya. Nabi saw. bersabda; “Orang yang mencari istri demi kecantikannya atau kekayaannya akan kehilangan keduanya.”
Sifat baik kedua dalam diri
seorang istri adalah tabiat yang baik. Istri yang bertabiat buruk – tidak
berterima kasih, suka bergunjing atau angkuh – membuat hidup tak tertanggungkan
dan merupakan halangan besar untuk menjalin kehidupan takwa.
Sifat ketiga yang harus dicari
adalah kecantikan, karena hal ini akan menimbulkan cinta dan kasih sayang. Oleh
karena itu, seseorang mesti melihat seorang wanita sebelum mengawininya. Nabi
saw. bersabda; “Wanita-wanita dari suku ini dan itu memiliki cacat di
mata-mata mereka.



Seorang yang ingin mengawini
seseorang di antara
mereka mesti melihatnya dulu.” Orang bijak berkata
bahwa seseorang yang mengawini seorang
wanita tanpa melihatnya lebih dulu, pasti akan menyesal kelak. Memang
benar bahwa seseorang tidak seharusnya kawin
demi kecantikan, tetapi
hal ini tidak berarti bahwa kecantikan mseti dianggap tidak
penting sama sekali.
Hal penting keempat tentang
seorang istri adalah bahwa besarnya mahar dibayarkan oleh seorang laki-laki
kepada istrinya mesti dalam jumlah pertengahan. Nabi saw. bersabda:
“Wanita yang paling baik untuk diperistri adalah yang maharnya kecil dan
nilai kecantikannya besar.” Beliau sendiri memberi mahar kepada beberapa
calon istrinya sekitar sepuluh dirham, dan mahar putri-putri beliau sendiri
tidak lebih daripada empat ratus dirham.
Sifat-sifat lain yang harus
dimiliki seorang istri yang baik adalah: berasal dari keturunan baik-baik, belum kawin sebelumnya dan tidak
terlalu dekat dalam hubungan kekeluargaan dengan suaminya.

Hal-hal
yang Harus Dikerjakan dalam Perkawinan

Pertama; karena
perkawinan adalah suatu lembaga keagamaan, maka ia mesti diperlakukan secara keagamaan. Jika tidak demikian, pertemuan antara
laki-laki dan wanita itu tidak lebih baik daripada pertemuan antar hewan.
Syariat memerintahkan agar diselenggarakan perjamuan dalam setiap perkawinan.
Ketika Abdurrahman bin ‘Auf merayakan perkawinannya Nabi saw. berkata
kepadanya: “Buatlah suatu pesta perkawinan, meskipun hanya dengan seekor
kambing.” Ketika Nabi
saw. sendiri merayakan perkawinannya dengan Shafiyyah, beliau membuat pesta
perkawinan dan menghidangkan kurma dan gandum saja. Demikian pula, perkawinan
sebaiknya dimeriahkan dengan memukul rebana dan memainkan musik, karena manusia
adalah mahkota penciptaan.
Kedua; seorang
suami istri mesti terus bersikap
baik terhadap istrinya. Hal ini tidak berarti
bahwa ia tidak boleh menyakitinya, melainkan sebaiknya menanggung dengan sabar
semua perasaan tidak enak yang diakibatkan oleh
istrinya, baik itu karena ketidak-masukakalan sikap istrinya atau sikap
tidak-berterimakasihnya. Wanita diciptakan lemah dan membutuhkan perlindungan;
karenanya ia mesti diperlakukan dengan sabar dan terus dilindungi. Nabi saw.
bersabda: “Seseorang yang mampu menanggung ketidakenakan yang ditimbulkan
oleh istrinya dengan penuh kesabaran akan
memperoleh pahala sebesar
yang diterima oleh Ayub a.s. atas kesabarannya menanggung bala (ujian) yang
menimpanya.” Pada saat-saat sebelum wafatnya, orang mendengar pula Nabi
saw. bersabda: “Teruslah berdoa dan
perlakukan istri-istrimu dengan baik, karena mereka adalah tawanan- tawananmu.” Beliau sendiri selalu
menanggung dengan sabar tingkah laku istri-istrinya. Suatu hari istri Umar
marah dan mengomelinya, ia berkata kepadanya: “Hai kau yang berlidah
tajam, berani kau menjawabku?” Istrinya menjawab, “Ya, penghulu para
nabi lebih baik daripadamu, sedangkan istri- istrinya saja mendebatnya.” Ia menjawab: “Celakalah Hafshah (Purti Sayidina Umar, istri Nabi saw.)
jika ia tidak
merendahkan dirinya sendiri.” Dan ketika ia berjumpa Hafshah, ia berkata,
“Awas, kau jangan
mendebat Rasul.” Nabi



saw. juga berkata: “Yang
terbaik di antaramu adalah yang terbaik sikapnya kepada keluarganya sendiri,
dan akulah yang terbaik sikapnya terhadap keluargaku.”
Ketiga; seorang
suami istri mesti berkenan terhadap rekreasi-rekreasi dan kesenangan-kesenangan
istrinya dan tidak mencoba menghalanginya. Nabi saw. sendiri pada suatu waktu pernah
berlomba lari dengan
istrinya, ‘Aisyah. Pada kali
pertama Nabi saw. mengalahkan ‘Aisyah dan pada kali kedua, ‘Aisyah mengalahkannya. Di waktu lain,
beliau menggendong ‘Aisyah
agar ia bisa melihat
beberapa orang Habsy menari. Pada kenyataannya akan sulitlah
untuk menemukan seseorang yang bersikap sedemikian baik terhadap istri-
istrinya seperti yang dilakukan Nabi saw. Orang-orang bijak berkata: “Seorang suami mesti pulang dengan
tersenyum dan makan apa saja yang tersedia dan tidak
meminta apa-apa yang tidak tersedia.” Meskipun demikian, ia tidak boleh berlebihan agar istrinya tidak kehilangan penghargaan atasnya. Jika ia melihat
sesuatu yang nyata-nyata salah dilakukan oleh istrinya, ia tidak
boleh mengabaikannya, melainkan harus menegurnya. Atau jika tidak,
ia akan menjadi sekadar
bahan tertawaan saja. Dalam al-Qur’an tertulis: “Laki-laki adalah pemimpin
bagi wanita,” dan Nabi saw. berkata: “Celakalah laki-laki yang
menjadi budak istrinya.” Seharusnya istrinyalah yang menjadi pelayannya. Orang-orang bijak berkata; “Berkonsultasilah dengan
wanita dan berbuatlah yang
bertentangan dengan apa yang mereka nasehatkan.” Memang ada suatu sikap
suka melawan dalam diri wanita; dan jika mereka diizinkan meskipun sedikit,
mereka akan sama sekali lepas dari kendali dan sulitlah untuk mengembalikannya
kepada sikap yang baik. Dalam urusan dengan mereka, seseorang mesti berusaha
menggunakan gabungan antara ketegasan dan rasa kasih sayang
dengan kasih sayang
sebagai bagian yang lebih besar. Nabi saw. berkata: “Wanita diciptakan seperti sepotong
tulang iga yang bengkok.
Jika kaucoba meluruskannya, kau akan mematahkannya; jika kau biarkan demikian, ia akan tetap bengkok. Karena itu
perlakukanlah ia dengan penuh kasih sayang.”
Keempat; dalam
hal pelanggaran susila,
seorang suami harus
sangat berhati- hati agar
tidak membiarkan istrinya dipandang atau memandang seorang asing, karena awal dari seluruh kerusakan
itu adalah dari mata. Sebisa- bisanya jangan izinkan ia untuk keluar rumah,
berdiri di loteng rumah atau berdiri di pintu. Meskipun demikian, anda mesti
hati-hati agar tidak cemburu tanpa alasan dan bersikap terlalu ketat. Suatu
hari Nabi saw. bertanya  kepada anaknya,
Fathimah: “Apakah yang terbaik bagi wanita?” Ia menjawab:
“Mereka tidak boleh menemui orang-orang asing, tidak pula orang-orang
asing boleh menemui mereka.” Nabi saw. senang
mendengar jawaban ini dan
memeluknya seraya berkata; “Sesungguhnya engkau adalah sebagian dari
hatiku.” Amirul Mu’minin Umar berkata: “Jangan memberi wanita
pakaian- pakaian yang baik, karena segera setelah mereka mengenakannya mereka
berkeinginan untuk keluar rumah.” Pada masa hidup Nabi, wanita-wanita
diizinkan pergi ke masjid dan tinggal di barisan paling belakang. Tapi secara
bertahap hal ini dilarang.
Kelima; seorang
suami mesti memberi nafkah secukupnya kepada istrinya dan tidak bersifat kikir
kepadanya. Memberi nafkah yang selayaknya kepada



istri lebih baik daripada
memberi sedekah. Nabi saw. bersabda: “Misalkan seorang laki-laki
menghabiskan satu dinar untuk berjihad, satu dinar lagi untuk menebus
seorang buda, satu dinar lagi untuk sedekah
dan memberikan satu dinar
juga kepada istrinya, maka pahala pemberian yang terakhir ini melebihi jumlah
pahala ketiga pemberian lainnya.”
Keenam; seorang
suami tidak boleh makan sesuatu yang lezat sendirian; atau kalaupun ia telah
memakannya, ia mesti diam dan tidak memujinya di depan istrinya. Jika tidak ada tamu, lebih baik bagi pasangan
suami istri untuk makan bersama, karena Nabi saw. bersabda:
“Jika mereka melakukan hal itu, Allah
menurunkan rahmatNya atas mereka dan para malaikat pun berdoa untuk mereka.” Hal yang paling
penting adalah bahwa
nafkah yang diberikan kepada istri itu harus
didapatkan dengan cara-cara halal.
Jika istri bersikap memberontak
dan tidak taat, pertama sekali suami mesti menasehatinya dengan lemah lembut.
Jika hal ini tidak cukup keduanya mesti tidur di kamar terpisah
untuk tiga malam. Jika hal ini juga tidak berhasil,
maka suami boleh memukulnya, tetapi tidak di mulutnya, tidak pula
terlalu keras hingga bisa melukainya. Jika istri lalai dalam tugas-tugas
keagamaannya, suami mesti menunjukkan
sikap tidak senang kepadanya selama sebulan penuh, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi kepada
istri-istrinya.
Selalulah bertindak hati-hati agar perceraian bisa dihindari; karena,
meskipun perceraian diizinkan, Allah tidak menyukainya. Perkataan cerai
saja sudah mengakibatkan penderitaan bagi seseorang wanita, dan bagaimana bisa
dibenarkan seseorang menyakiti orang lain? Jika perceraian terpaksa sekali
dilakukan, maka ucapan itu tidak boleh diulangi tiga kali sekaligus, tetapi
harus pada tiga waktu yang berlainan. Seorang
perempuan mesti dicerai
baik- baik, tidak dengan kemarahan ataupun penghinaan, tidak pula tanpa alasan. Setelah perceraian, seorang
laki-laki mesti memberikan pemberian (mut’ah) kepada bekas istrinya, dan tidak
menceritakan kepada orang lain alasan- alasan atau kesalahan-kesalahan yang
dilakukan istrinya sehingga mereka bercerai.
Dari seorang suami yang hendak
menceraikan istrinya, diriwayatkan bahwa orang-orang bertanya
kepadanya: “Mengapa engkau menceraikannya?” Ia menjawab: “Saya
tak akan membongkar rahasia- rahasia istri saya.” Ketika akhirnya ia benar-benar menceraikannya, ia ditanya lagi dan berkata; “Dia
sekarang orang asing bagiku; saya tidak lagi berurusan
dengan soal-soal pribadinya.”
Sejauh ini telah kita bahas
hak-hak istri atas suaminya, tetapi hak-hak
suami atas istrinya lebih mengikat lagi. Nabi saw. bersabda: “Jika
saja dibolehkan untuk menyembah sesuatu selain Allah, akan aku perintahkan agar
para istri menyembah suami-suami mereka.”
Seorang istri tidak boleh
menggembar-gemborkan kecantikannya di depan suaminya, tidak boleh membalas
kebaikan sang suami dengan perasaan tidak terima kasih. Istri tidak boleh
berkata kepada suaminya: “Kenapa kauperlakukan aku begini dan
begitu?” Nabi saw. bersabda: “Aku melihat ke dalam neraka dan
menampak banyak wanita di sana. Kutanyakan sebab-



sebabnya dan mendapat jawaban, karena mereka
berlaku tidak baik kepada suami-suami mereka dan tidak berterima kasih
kepadanya.”



BAB 8
: Cinta Kepada Allah

Kecintaan kepada Allah adalah
topik yang paling penting dan merupakan tujuan
akhir pembahasan kita sejauh ini. Kita telah berbicara tentang
bahaya- bahaya ruhaniah karena
mereka menghalangi kecintaan
kepada Allah di hati
manusia. Telah pula kita bicarakan tentang berbagai sifat baik yang diperlukan
untuk itu. Penyempurnaan kemanusiaan terletak di sini, yaitu bahwa kecintaan
kepada Allah mesti menaklukkanhati manusia dan menguasainya sepenuhnya.
Kalaupun kecintaan kepada Allah tidak menguasainya sepenuhnya, maka hal itu
mesti merupakan perasaan yang paling besar di dalam hatinya, mengatasi
kecintaan kepada yang lain-lain. Meskipun demikian, mudah dipahami bahwa
kecintaan kepada Allah adalah sesuatu yang sulit dicapai, sehingga suatu aliran
teologi telah kenyataan sama sekali
menyangkal, bahwa manusia bisa mencitai suatu wujud yang bukan merupakan spesiesnya sendiri. Mereka
telah mendefinisikan kecintaan kepada Allah sebagai sekedar
ketaatan belaka. Orang-orang yang berpendapat demikian sesungguhnya tidak tahu
apakah agama itu sebenarnya.
Seluruh muslim sepakat bahwa
cinta kepada Allah adalah suatu kewajiban. Allah berfirman berkenaan dengan
orang-orang mukmin: “Ia mencintai mereka dan mereka mencitaiNya.” Dan
Nabi saw. Bersabda, “Sebelum seseorang
mencintai Allah dan NabiNya lebih
daripada mencintai yang lain, ia tidak memiliki keimanan yang
benar.” Ketika Malaikat Maut datang untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim,
Ibrahim berkata: “Pernahkan engkau melihat
seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?” Allah menjawabnya,
“Pernahkan engkau melihat seorang kawan yang tidak suka untuk melihat
kawannya?” Maka Ibrahim
pun berkata, “Wahai Izrail, ambillah nyawaku!”
Doa berikut ini diajarkan oleh
Nabi saw. kepada para sahabatnya; “Ya Allah, berilah aku kecintaan
kepadaMu dan kecintaan kepada orang-orang yang
mencintaiMu, dan apa saja yang membawaku mendekat kepada cintaMu. Jadikanlah cintaMu lebih berharga bagiku
daripada air dingin bagi orang- orang yang kehausan.” Hasan Basri seringkali
berkata: “Orang yang mengenal
Allah akan mencintaiNya; dan orang yang mengenal dunia akan membencinya.”
Sekarang kita akan membahas
sifat esensial cinta. Cinta bisa didefinisikan sebagai suatu kecenderungan
kepada sesuatu yang menyenangkan. Hal ini tampak nyata berkenaan dengan lima
indera kita. Masing-masing indera mencintai segala sesuatu yang memberinya kesenangan.
Jadi, mata mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga
mencintai musk, dan seterusnya.
Ini adalah sejenis cinta yang juga dimiliki oleh hewan-hewan. Tetapi ada indera
keenam, yakni fakultas persepsi, yang tertanamkan dalam hati dan tidak dimiliki
oleh hewan-hewan. Dengannya kita menjadi sadar akan keindahan dan
keunggulan ruhani. Jadi,
seseorang yang hanya
akrab dengan
kesenangan-kesenangan inderawi tidak akan bisa memahami apa yang dimaksud oleh Nabi saw. ketika bersabda
bhwa ia mencintai shalat lebih



daripada wewangian dan wanita,
meskipun keduanya itu juga menyenangkan baginya. Tetapi orang yang
mata-hatinya terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Allah akan
meremehkan semua penglihatan-penglihatan
luar, betapa pun indah tampaknya semua itu.
Manusia yang hanya akrab dengan
kesenangan-kesenangan inderawi akan berkata bahwa keindahan ada pada
warna-warni merah putih, anggota- anggota tubuh yang serasi dan seterusnya,
sedang ia buta terhadap keindahan moral yang dimaksudkan oleh orang-orang
ketika mereka berbicara tentang orang ini dan orang itu yang memiliki tabiat
baik. Tetapi orang-orang yang memiliki
persepsi yang lebih
dalam merasa sangat
mungkin untuk bisa mencintai orang-orang besar yang telah jauh
mendahului kita – seperti kata Khalifah Umar dan Abu Bakar – berkenaan dengan
sifat-sifat mulia mereka, meskipun jasad-jasad mereka telah sejak dahulu sekali
bercampur dengan debu.
Kecintaan seperti itu tidak diarahkan
kepada bentuk luar melainkan
kepada sifat-sifat ruhaniah. Bahkan ketika kita ingin membangkitkan rasa cinta di dalam diri seorang anak kepada orang lain, kita tidak menguraikan keindahan luar
bentuk itu atau yang lainnya, melainkan kunggulan-keunggulan ruhaniahnya.
Jika kita terapkan prinsip ini
untuk kecintaan kepada Allah, maka akan kita dapati bahwa Ia sendiri
sajalah yang pantas
dicintai. Dan jika seseorang tidak mencintaiNya, maka
hal itu disebabkan karena ia tidak
mengenaliNya. Karena alasan
inilah, maka kita mencintai Muhammad saw., karena ia adalah Nabi dan kecintaan Allah; dan kecintaan kepada orang-orang berilmu
dan bartakwa adalah
benar-benar kecintaan kepada Allah. Kita akan melihat hal ini lebih jelas kalau
kita membahas sebab-sebab yang bisa membangkitkan kecintaan.
Sebab pertama adalah kecintaan
seseorang atas dirinya dan kesempurnaan
sifatnya sendiri. Hal ini membawanya langsung kepada kecintaan kepada Allah,
karena kemaujudan asasi dan sifat-sifat manusia tidak lain adalah anugerah
Allah. Kalau bukan karena kebaikanNya, manusia tidak akan pernah tampil dari
balik tirai ketidak-maujudan ke dunia kasat-mata ini. Pemeliharaan dan
pencapaian kesempurnaan manusia juga sama sekali tergantung para kemurahan
Allah. Sungguh aneh jika seseorang mencari perlindungan
dari panas matahari di bawah bayangan sebuah pohon dan tidak bersyukur kepada
pohon yang tanpanya
tidak akan ada bayangan sama sekali. Sama seperti itu, kalau
bukan karena Allah, manusia tidak akan maujud (ada) dan sama sekali tidak pula
mempunyai sifat-sifat. Oleh sebab itu ia akan mencintai Allah kalau saja bukan
karena kemasabodohan terhadapNya. Orang-orang bodoh tidak bisa mencintaiNya,
karna kecintaan kepadaNya memancar langsung dari pengetahuan tentangNya. Dan
sejak kapankah seorang bodoh mempunyai pengetahuan?
Sebab kedua dari kecintaan ini
adalah kecintaan manusia kepada sesuatu yang berjasa kepadanya, dan
sebenarnyalah satu-satunya yang berjasa kepadanya
hanyalah Allah; karena, kebaikan apa pun yang diterimanya dari sesama manusia disebabkan
oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apa pun yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan kepada
orang lain,



apakah itu keinginan untuk
memperoleh pahala atau nama baik, Allah-lah yang mempekerjakan motif itu.
Sebab ketiga adalah kecintaan
yang terbangkitkan oleh perenungan tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakanNya, yang jika dibandingkan dengan kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia tidak
lebih daripada cerminan-cerminan yang paling
remeh. Kecintaan ini mirip dengan
cinta yang kita rasakan
terhadap orang-orang besar di masa lampau, seperti
Imam Malik dan Imam Syafi’i,
meskipun kita tidak pernah mengharap untuk menerima keuntungan pribadi dari mereka. Dan oleh karenanya, cinta ini
merupakan jenis cinta yang lebih tak berpamrih. Allah berfirman kepada Nabi
Daud, “AbdiKu yang paling cinta kepadaKu adalah yang tidak mencariku
karena takut untuk dihukum atau
berharap mendapatkan pahala, tetapi hanya demi membayar hutangnya kepada KetuhananKu.” Di dalam Injil
tertulis: “Siapakah yang lebih kafir daripada
orang yang menyembahKu karena takut neraka
atau mengharapkan surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan
pantaskah Aku untuk disembah?”
Sebab KEEMPAT dari kecintaan ini adalah “persamaan” antara
manusia dan Allah. Hal inilah
yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw.: “Sesungguhnya Allah menciptakan
manusia dalam kemiripan dengan diriNya sendiri.” Lebih jauh lagi Allah telah
berfirman: “Hambaku mendekat
kepadaKu sehingga Aku menjadikannya sahabatKu. Aku pun
menjadi telinganya, matanya dan lidahnya.” Juga Allah berfirman kepada
Musa as.: “Aku pernah sakit tapi engkau
tidak menjengukku!” Musa menjawab: “Ya Allah, Engkau adalah
Rabb langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit?” Allah
berfirman: “Salah seorang hambaKu sakit; dan dengan menjenguknya berarti
engkau telah mengunjungiKu.”
Memang ini adalah suatu masalah
yang agak berbahaya untuk diperbincangkan, karena hal ini berada di balik
pemahaman orang-orang awam. Seseorang yang cerdas sekalipun bisa tersandung
dalam membicarakan soal ini dan percaya pada inkarnasi dan kersekutuan dengan
Allah. Meskipun demikian, “persamaan” yang maujud di antara manusia
dan Allah menghilangkan keberatan para ahli Ilmu Kalam yang telah disebutkan di atas itu, yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai
suatu wujud yang bukan dari spesiesnya sendiri.
Betapa pun jauh jarak yang memisahkan
mereka, manusia bisa mencintai Allah karena “persamaan” yang disyaratkan
di dalam sabda Nabi: “Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan
diriNya sendiri.”

Menampak Allah

Semua muslim mengaku percaya
bahwa menampak Allah adalah puncak kebahagiaan
manusia, karena hal ini dinyatakan dalam syariah. Tetapi bagi banyak orang hal
ini hanyalah sekedar pengakuan di bibir belaka yang tidak membangkitkan
perasaan di dalam hati. Hal ini bersifat alami saja, karena bagaimana bisa
seseorang mendambakan sesuatu yang tidak ia ketahui? Kami akan berusaha
untuk menunjukkan secara
ringkas, kenapa menampak Allah merupakan kebahagiaan terbesar
yang bisa diperoleh manusia.



Pertama sekali, semua fakultas
manusia memiliki fungsinya sendiri yang ingin dipuasi. Masing-masing punya
kebaikannya sendiri, mulai dari nafsu badani yang paling rendah sampai bentuk
tertinggi dari pemahaman intelektual. Tetapi suatu upaya mental dalam bentuk
rendahnya sekalipun masih memberikan kesenangan yang lebih besar daripada
kepuasan nafsu jasmaniah. Jadi, jika
seseorang kebetulan terserap dalam suatu permainan catur, ia tidak akan ingat makan meskipun berulang
kali dipanggil. Dan makin
tinggi pengetahuan kita makin besarlah kegembiraankita akan dia. Misalnya, kita akan lebih merasa senang
mengetahui rahasia-rahasia seorang raja daripada
rahasia-rahasia seorang wazir. Mengingat bahwa Allah adalah obyek pengetahuan
yang paling tinggi, maka pengetahuan tentangNya pasti akan memberikan
kesenangan yang lebih besar ketimbang yang lain. Orang yang mengenal Allah, di
dunia ini sekalipun, seakan-akan merasa telah berada di surga “yang
luasnya seluas langit dan bumi”; surga yang buah- buahnya sedemikian nikmat, sehingga tak ada seorang pun yang
bisa mencegahnya untuk memetiknya; dan surga yang tidak menjadi lebih sempit oleh banyaknya orang yang tinggal
di dalamnya.
Tetapi nikmatnya pengetahuan
masih jauh lebih kecil daripada nikmatnya penglihatan, persis seperti
kesenangan kita di dalam melamunkan orang- orang
yang kita cintai jauh lebih sedikit daripada kesenangan yang diberikan oleh
penglihatan langsung akan mereka. Keterpenjaraan kita di dalam jasad yang
terbuat dari lempung dan air ini, dan kesibukankita dengan ihwal inderawi,
menciptakan suatu tirai yang menghalangi kita dari menampak Allah, meskipun hal itu tidak mencegah
kita dari memperoleh beberapa pengethuan tentangNya. Karena alasan inilah,
Allah berfirman kepada Musa di Bukit
Sinai: “Engkau tidak akan bisa melihatKu.”
Hal yang sebenarnya adalah
sebagai berikut. Sebagaimana benih manusia akan menjadi seorang manusia dan
biji korma yang ditanam akan menjadi pohon korma, maka pengetahuan tentang
Tuhan yang diperoleh di bumi akan menjelma menjadi penampakan Tuhan di
akhirat kelak, dan orang yang tak pernah mempelajari pengetahuan itu tak akan
pernah mengalami penampakan itu. Penampakan ini tak akan terbagi sama kepada orang-orang yang tahu, melainkan kadar
kejelasannya akan beragam sesuai dengan pengetahuan mereka. Tuhan itu satu,
tetapi Ia akan terlihat dalam banyak cara yang berbeda, persis sebagaimana
suatu obyek tercerminkan dalam berbagai
cara oleh berbagai cermin; ada yang mempertunjukkan bayangan yang lurus, ada
pula yang baur, ada yang jelas dan yang lainny akabur. Sebuah cermin mungkin
telah sedemikian rusak sehingga bisa membuat bentuk yang indah sekalipun tampa buruk, dan seseorang mungkin
membawa sebuah hati yang sedemikian gelap dan kotor ke akhirat, sehingga penglihatan yang bagi orang lain merupakan
sumber kebahagiaan dan kedamaian, baginya malah menjadi sumber kesedihan.
Seseorang yang di hatinya cinta terhadap Tuhan telah mengungguli yang lain akan
menghirup lebih banyak kebahagiaan dari penglihatan ini dibanding orang yang di
hatinya cinta itu tak sedemikian unggul; persis seperti halnya dua manusia yang
sama memiliki pandangan mata yang tajam; ketika menatap sebentuk wajah yang
cantik, maka orang yang telah mencintai pemilik wajah itu akan lebih berbahagia dalam menatapnya daripada
orang yang tidak mencinta.



Agar bisa menikmati kebahagiaan sempurna, pengetahuan saja tanpa disertai cinta belumlah cukup. Dan cinta
akan Allah tak bisa memenuhi hati manusia sebelum ia disucikan dari cinta akan
dunia yang hanya bisa didapatkan dengan zuhud. Ketika berada di dunia ini,
keadaan manusia berkenaan dengan menampak Allah adalah seperti
seorang pencinta yang akan melihat wajah kasihya di keremangan
fajar, sementara pakaiannya dipenuhi dengan lebah dan kalajengking yang terus
menerus menyiksanya. Tetapi jika matahari terbit dan menampakkan wajah sang
kekasih dalam segenap keindahannya dan binatang berbisa berhenti menyiksanya,
maka kebahagiaan sang pencinta akan menjadi seperti
kecintaan hamba Allah
yang setelah keluar dari keremangan dan terbebaskan dari bala yang
menyiksa di dunia ini, melihatNya
tanpa tirai. Abu Sulaiman berkata: “Orang yang sibuk dengan dirinya
sekarang, akan sibuk dengan dirinya kelak; dan orang yang tersibukkan dengan
Allah sekarang, akan tersibukkan denganNya kelak.”
Yahya Ibnu Mu’adz meriwayatkan
bahwa ia mengamati Bayazid Bistami dalam shalatnya sepanjang malam. Ketika
telah selesai, Bayazid berdiri dan berkata: “O Tuhan! Beberapa hamba telah
meminta dan mendapatkan kemampuan untuk membuat
mukjizat, berjalan di atas permukaan air, terbang di
udara, tapi bukan semua itu yang kuminta; beberapa yang lain telah meminta dan
mendapatkan harta benda, tapi bukan itu pula yang kuminta.” Kemudian
Bayazid berpaling dan ketika melihat Yahya, ia bertanya: “Engkaulah yang di sanan
itu Yahya?” Ia jawab: “Ya.” Ia bertanya lagi:
“Sejak kapan?” “Sudah sejak lama.” Kemudian Yahya
memintanya agar mengungkapkan beberapa pengalaman ruhaniahnya. “Akan
kuungkapkan”, jawab Bayazid, “apa-apa yang halal untuk diceritakan
kepadamu.” Yang Kuasa telah mempertunjukkan kerajaanNya kepadaku, dari yang paling mulia
hingga yang terenah. Ia mengangkatku ke atas ‘Arsy dan KursiNya dan ketujuh
langit. Kemudian Ia berkata: ‘Mintalah kepadaKu apa saja yang kau ingini.’ Saya
jawab: ‘Ya Allah! Tak kuingini sesuatu pun selain Engkau.’ ‘Sesungguhnya,’
kataNya, ‘engkau adalah hambaKu.”
Pada kali lain Bayazid berkata:
“Jika Allah akan memberikan padamu keakraban dengan diriNya atau Ibrahim,
kekuatan dalam doa Musa dan keruhanian Isa, maka
jagalah agar wajahmu
terus mengarah kepadaNya saja, karena Ia memiliki khazanah-khazanah yang bahkan
melampaui semuanya ini.” Suatu hari seorang sahabatnya berkata kepadanya:
“Selama tigapuluh tahun aku telah berpuasa di siang hari dan bersembahyang
di malam hari, tapi sama sekali
tidak kudapati kebahagiaan ruhaniah yang kamu sebut-sebut
itu.” Bayazid menjawab: “Kalaupun engkau berpuasa dan bersembahyang
selama tigaratus tahun, engkau tetap tak akan mendapatinya.”
“Kenapa?” tanya sang sahabat. “Karena,” kata Bayazid,
“perasaan mementingkan-diri- sendirimu telah menjadi tirai antara engkau
dan Allah.” “Jika demikian, katakan padaku cara penyembuhannya.”
“Cara itu takkan mungkin bisa kaulaksanakan.” Meskipun demikian
ketika sahabatnya itu memaksanya untuk mengungkapkannya, Bayazid berkata:
“Pergilah ke tukang cukur terdekat dan mintalah ia untuk mencukur
jenggotmu. Bukalah semua pakaianmu kecuali korset yang melingkari pinggangmu.
Ambillah sebuah kantong yang penuh dengan
kenari, gantungkan di lehermu, pergilah
ke pasar dan berteriaklah: ‘Setiap orang yang memukul tengkukku
akan mendapatkan



buah kenari’. Kemudian dalam
keadaan seperti itu pergilah ke tempat para qadhi dan faqih.”
“Astaga!” kata temannya, “saya benar-benar tak bisa
melakukannya. Berilah cara penyembuhan yang lain.” “Itu tadi adalah
pendahuluan yang harus dipenuhi untuk penyembuhannya,” jawab Bayazid.
“Tapi, sebagaimana telah saya katakan padamu, engkau tak bisa
disembuhkan.”
Alasan Bayazid untuk
menunjukkan cara penyembuhan seperti itu adalah kenyataan bahwa sahabatnya itu
adalah seorang pengejar kedudukan dan kehormatan yang ambisius. Ambisi dan
kesombongan adalah penyakit- penyakit yang hanya bisa disembuhkan dengan
cara-cara seperti itu. Allah berfirman kepada Isa: “Wahai Isa, jika Kulihat
di hati para hambaKu kecintaan yang murni terhadap diriKu yang
tidak terkotori dengan nafsu-nafsu mementingkan
diri-sendiri berkenaan dengan dunia ini atau dunia yang akan datang, maka Aku akan menjadi penjaga cinta itu.”
Juga ketika orang-orang meminta Isa a.s. menunjukkan amal yang paling mulia, ia
menjawab: “Mencintai Allah dan memasrahkan diri kepada kehendakNya.”
Wali Rabi’ah pernah ditanya cintakah ia kepada Nabi. “Kecintaan kepada
Sang Pencipta,” katanya, “telah mencegahku dari mencintai
mahluk.” Ibrahim bin Adam dalam doanya berkata: “Ya Allah, di
mataku surga itu sendiri masih lebih remeh daripada sebuah agas jika
dibandingkan dengan kecintaan kepadaMu dan kebahagiaan mengingat Engkau yang telah Kauanugerahkan kepadaku.”
Orang yang menduga bahwa
mungkin saja untuk menikmati kebahagiaan di akhirat tanpa mencintai Allah,
sudah terlalu jauh tersesat, karena inti kehidupan masa yang akan datang adalah
untuk sampai kepada Allah sebagaimana sampai pada suatu obyek keinginan yang
sudah lama didambakan dan diraih melalui halangan-halangan yang tak terbilang
banyaknya. Penikmatan akan Allah adalah kebahagiaan. Tapi jika ia tidak
memiliki kesenangan akan Allah sebelumnya, ia tidak akan bergembira di dalamnya kelak;
dan jika kebahagiaannya di dalam Allah
sebelumnya sangat kecil
sekali, maka kelak ia pun akan kecil. Ringkasnya, kebahagiaan kita di masa datang
akan sama persis kadarnya dengan
kecintaan kita kepada
Allah sekarang.
Tetapi na’udzu billah, jika di
dalam hati seseorang telah tumbuh suatu kecintaan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan
Allah, maka keadaan kehidupan akhirat akan saa sekali
asing baginya. Dan apa-apa yang akan membuat orang lain bahagia akan membuatnya bersedih.
Hal ini bisa diterangkan dengan
anekdot berikut ini. Seorang manusia pemakan
bangkai pergi ke sebuah pasar
yang menjual wangi-wangian. Ketika membaui aroma yang wangi ia jatuh pingsan.
Orang-orang mengerumuninya dan
memercikkan air bunga mawar padanya, lalu mendekatkan misyk (minyak wangi) ke
hidungnya; tetapi ia malah menjadi semakin parah. Akhirnya seseorang datang;
dia sendiri adalah juga pemakan bangkai. Ia mendekatkan sampah ke hidung orang
itu, maka orang itu segera sadar, mendesah penuh kepuasan: “Wah, ini baru
benar-benar wangi-wangian!” Jadi, di akhirat nanti
manusia tak akan
lagi mendapati kenikmatan-kenikmatan cabul dunia ini;
kebahagiaan ruhaniah dunia itu akan sama sekali baru



baginya dan malah akan
meningkatkan kebobrokannya. Karena, akhirat adalah suatu dunia ruh dan
merupakan pengejawantahan dari keindahan Allah; kebahagiaan adalah bagi manusia
yang telah mengejarnya dan tertarik padanya.
Semua kezuhudan, ibadah dan pengkajian-pengkajian akan menjadikan rasa tertarik itu sebagai tujuannya
dan itu adalah cinta. Inilah
arti dari ayat al-Qur’an: “Orang yang telah
menyucikan jiwanya akan berbahagia.”
Dosa-dosa dan syahwat langsung bertentangan dengan pencapaian rasa tertarik
ini. Oleh karena itu, al-Qur’an berkata: “Dan orang yang mengotori jiwanya
akan merugi.” Orang-orang yang dianugerahi wawasan ruhaniah telah benar-benar memahami kebenaran ini
sebagai suatu kenyataan pengalaman, bukan sekadar
sebuah pepatah tradisional belaka. Pencerapan
mereka yang amat jelas terhadap kebenaran ini membawa mereka kepada keyakinan
bahwa orang yang membawa kebenaran itu adalah benar-benar seorang Nabi,
sebagaimana yakinnya seseorang yang telah mempelajari pengobatan ketika ia
mendengarkan omongan seorang dokter. Ini adalah sejenis keyakinan yang tidak membutuhkan dukungan berupa
mukjizat- mukjizat, seperti mengubah sebatang kayu menjadi seekor ular yang
masih mungkin digoncangkan dengan mukjizat-mukjizat luar biasa sejenisnya yang dilakukan oleh para ahli sihir.

Tanda-tanda Kecintaan kepada
Allah

Banyak orang mengaku telah
mencintai Allah, tetapi masing-masing mesti memeriksa diri sendiri berkenaan dengan kemurnian cinta yang ia miliki. Ujian pertama adalah: dia mesti tidak
membenci pikiran tentang mati, kerena tak ada seorang “teman” pun
yang ketakutan ketika akan bertemu dengan “teman”nya. Nabi saw.
Berkata: “Siapa yang ingin melihat Allah, Allah pun ingin melihatnya.”
Memang benar bahwa seorang pencinta Allah yang ikhlas mungkin saja bisa takut
akan kematian sebelum ia menyelesaikan persiapannya untuk ke akhirat,
tapi jika ia ikhlas ia akan rajin dalam membuat persiapan-persiapan itu.
Ujian keikhlasan yang kedua ialah
seseorang mesti rela mengorbankan kehendaknya demi kehendak Allah; mesti
berpegang erat-erat kepada apa yang membawanya lebih
dekat kepada Allah;
dan mesti menjauhkan diri dari
tempat-tempat yang menyebabkan ia berada jauh dari Allah.
Kenyataan bahwa seseorang telah
berbuat dosa bukanlah bukti bahwa dia tidak mencintai Allah sama sekali,
tetapi hal itu hanya membuktikan bahwa ia tidak
mencintaiNya dengan sepenuhhati. Wali Fudhail berkata pada seseorang:
“Jika seseorang bertanya kepadamu, cintakah engkau kepada Allah, maka
diamlah; karena jika engkau berkata: ‘Saya tidak mencintaiNya,’ maka engkau
menjadi seorang kafir; dan jika engkau berkata: ‘Ya, saya mencintai Allah,’
padahal perbuatan-perbuatanmu bertentangan dengan itu.”
Ujian yang ketiga adalah bahwa
dzikrullah mesti secara otomatis terus tetap segar di dalam hati manusia.
Karena, jika seseorang memang mencintai, maka
ia akan terus mengingat-ngingat; dan jika cintanya
itu sempurna, maka ia tidak akan pernah melupakan-Nya.
Meskipun demikian, memang mungkin
terjadi bahwa sementara kecintaan kepada
Allah tidak menempati
tempat



utama di hati seseorang,
kecintaan akan kecintaan kepada Allahlah yang berada di tempat itu, karena
cinta adalah sesuatu dan kecintaan akan cinta adalah sesuatu yang lain.
Ujian yang keempat adalah bahwa
ia akan mencintai al-Qur’an yang merupakan firman Allah dan Muhammad Nabiyullah. Jika cintanya memang benar-benar kuat, ia akan
mencintai semua manusia, karena mereka semua adalah hamba-hamba Allah. Malah cintanya akan melingkupi semua mahluk,
karena orang yang mencintai seseorang akan mencintai karya-karya cipta dan
tulisan tangannya.
Ujian kelima adalah, ia akan
bersikap tamak terhadap ‘uzlah untuk tujuan ibadah. Ia akan terus mendambakan
datangnya malam agar bisa berhubungan dengan Temannya tanpa halangan. Jika ia
lebih menyukai bercakap-cakap di siang hari dan tidur di malam hari daripada
‘uzlah seperti itu, maka cintanya itu tidak sempurna. Allah berkata kepada Daud
a.s.: “Jangan terlalu dekat dengan manusia, karena ada dua jenis orang
yang menghalangi kehadiranKu: orang-orang yang bernafsu untuk
mencari imbalan dan kemudian
semangatnya mengendor ketika telah mendapatkannya, dan orang-orang yang lebih
menyukai pikiran-pikirannya sendiri daripada mengingatKu. Tanda-tanda
ketidak-hadiranKu adalah bahwa Aku meninggalkannya sendiri.
Sebenarnyalah, jika kecintaan
kepada Allah benar-benar menguasai hati manusia, maka semua cinta kepada yang lain pun akan hilang.
Salah seorang dari Bani
Israil mempunyai kebiasaan untuk sembahyang di malam hari. Tetapi ketika
tahu bahwa seekor
burung bisa bernyanyi
dengan sangat merdu di atas sebatang pohon, ia pun
mulai sembahyang di bawah pohon itu agar dapat menikmati kesenangan mendengarkan burung itu. Allah memerintahkan Daut
a.s. untuk pergi dan berkata kepadanya: “Engkau telah mencampurkan kecintaan kepada seekor burung yang merdu
dengan kecintaan kepadaKu; maka tingkatanmu di kalangan para wali pun terendahkan.”
Di pihak lain, beberapa orang telah mencintai Allah dengan kecintaan sedemikian
rupa, sehingga ketika mereka sedang berkhidmat dalam ibadah, rumah-rumah mereka
telah terbakar dan mereka tidak mengetahuinya.
Ujian keenam adalah bahwa
ibadah pun menjadi mudah baginya. Seorang wali berkata: “Selama tigapuluh
tahun pertama saya menjalankan ibadah malamku
dengan sudah payah,
tetapi tiga puluh tahun kemudian
hal itu telah menjadi suatu kesenangan
bagiku.” Jika kecintaan kepada Allah sudah sempurna, maka tak ada
kebahagiaan yang bisa menandingi kebahagiaan beribadah.
Ujian ketujuh adalah bahwa pencinta Allah akan mencintai
orang-orang yang menaatiNya,
dan membenci orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak taat, sebagaimana
kara al-Qur’an: “Mereka bersikap keras terhadap orang kafir dan berkasih
sayang dengan sesamanya.” Nabi saw pernah bertanya kepada Allah: “Ya
Allah, siapakah pencinta-pencintaMu?” Dan jawabannya pun datang:
“Orang-orang yang berpegang erat-erat kepadaKu sebagaimana



seorang anak kepada ibunya;
yang berlindung di dalam pengingatan kepadaKu sebagaimana seekor burung mencari
naungan pada sarangnya; dan akan sangat marah jika melihat perbuatan dosa
sebagaimana seekor macan marah yang tidak takut kepada apa pun.”



Ringkasan

“Jika Anda menemui sesuatu
kesulitan di dalam
memahami tawasuf, bacalah buku saya Kimia-i Sa’adat (Kimia
Kebahagiaan) yang akan membimbing Anda ke jalan yang benar, dan memberi Anda,
sekurang-kurangnya, suatu kesempatan yang adil untuk memanfaatkan kemamp0uan-kemampuan yang
dikaruniakan oleh Allah
kepada Anda.” Demikianlah Al-Ghazali menulis dalam salah satu suratnya kepada
Nizamuddin Fakhrul Mulk, wazir Seljuk.
Kimia Kebahagiaan adalah ringkasan dari karya monumental Al-Ghazali, Ihya
Ulumiddin, ditulis sendiri
secara populer oleh beliau dalam bahasa Parsi,
tidak dalam bahasa Arab sebagaimana Ihya.
Mengenai Ihya cukuplah
kita kutipkan di sini
pendapat Muhaddits Zainuddin Iraqi: “sebagai seorang ulama, Al- Ghazali telah
berhasil meringkaskan dan
kadang-kadang menjelaskan ajaran- ajaran Al-Qur’an dan hadis,
dalam karya abadinya ini yang, disamping Al-
Qur’an dan hadis,
merupakan buku petunjuk
praktis terakhir dan agama sejati yang ada.”

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *